Hubungan Antara Motivasi Belajar dengan Prestasi Belajar

Belajar merupakan proses aktif, karena belajar akan berhasil jika dilakukan secara rutin dan sistematis. Ciri dari suatu pelajaran yang berhasil, salah satunya dapat dilihat dari kadar belajar siswa atau motivasi belajar, makin tinggi motivasi belajar siswa maka makin tinggi peluang pengejarannya.
Prestasi merupakan nilai angkah yang menunjukan kualitas keberhasilan, sudah barang tentu semua siswa berhasil mencapai dengan terlebih dahulu mengikuti evaluasi yang diselenggarakan guru atau sekolah. Untuk mencapai prestasi maka diperlukan sifat dan tingkah laku seperti: aspirasi yang tinggi, aktif mengerjakan tugas tugas-tugas, kepercayaan yang tinggi, interaksi yang baik, kesiapan belajar dan sebagainya. Sifat dan ciri-ciri yang dituntut dalam kegiatan belajar itu hanya terdapat pada individu yang mempunyai motivasi yang tinggi, sedangkan yang mempunyai motivasi yang rendah tidak ada sehingga akan menghambat kegiatan belajarnya. Jadi secara teoritis motivasi akan berhubunggan dengan prestasi belajar yang dicapai siswa.
Dengan motivasi, diharapkan setiap pekerjaan yang dilakukan secara efektif dan efesien, sebab motivasi akan menciptakan kemauan untuk belajar secara teratur, oleh karena itu siswa harus dapat memanfaatkan setuasi dengan sebaik-baiknya. Banyak siswa yang belajar tetapi hasilnya kurang sesuai dengan yang diharapkan, sebab itu diperlukan jiwa motivasi, dengan motivasi seorang siswa akan mempunyai cara belajar dengan baik. Dengan demikian betapa besarnya peranan motivasi dalam menunjang keberhasilan belajar.
Apabila seorang memiliki motivasi dan kebiasaan yang baik maka setiap usaha yang dilakukan akan memberikan hasil yang memuaskan, menurut Tadjab, motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegeiatan belajar, menjamin kelangsungan kegiatan itu demi mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu yang penting bagaimana menciptakan kondisi tertentu agar siswa itu selalu butuh dan ingin terus belajar.
Belajar dengan motivasi dan terarah dapat menghindarkan diri rasa malas dan menimbulkan kegairahan siswa dalam belajar, pada akhirnya dapat meningkatkan daya kemampuan belajar siswa. Dan demikian maka keberhasilan siswa akan mudah tecapai, Hal ini sesuai dengan apa yang tercantum dalam Al-Qur`an bahwa manusia tergantung pada dirinya sendiri, apakah itu mau atau tidak yaitu Q.S. Ar-ra`d ayat 11:
.....ان الله لايغير مابقوم حتى يغيروا مابانفسهم .....الاية
Artinya :”…….sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri……”.40

Dari ayat diatas dijelaskan dikaitkan dengan motivasi belajar tergantung pada diri siswa itu sendiri apakah bisa melakukannya dengan baik secara kualitas maupun kuantitasnya,
Pada dasarnya prestasi belajar adalah akibat dari belajar, terutama belajar yang mempunyai motivasi tinggi. Jadi uraian diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi belajar mempunyai hubungan erat dengan prestasi belajar. Semakin tinggi motivasi belajar siswa kemungkinan semakin besar peluang untuk mencapai prestasi yang baik atau tinggi.

Cara Menilai Prestasi Belajar

Cara Menentukan Prestasi Belajar

Dalam dunia pendidikan, khususnya dunia persekolahan guru wajib mengetahui sejauh mana keberhasilan siswanya telah berhasil mengikuti pelajaranyang diberikan oleh guru. Untuk melaksanakan penilaian tentang prestasi belajar siswa maka guru sebagai subyek evaluasi untuk setiap tes. Maka alat evaluasi yang digunakan dapat digolongkan mennjadi dua macam, yaitu: tes dan bukan tes (non - tes).

Selanjutnya tes dan non tes ini juga disebut sebagai teknik evaluasi. Tes adalah suatu alat, atau prosedur yang sistematis dan obyektif untuk memperoleh data–data atau keteranngan– keterangan yang diinginkan tentang seseorang, denngan cara yang boleh dikatakan tepat dan cepat. Menurut Mukthar Bukhari di dalam bukunya “Tehnik-tehnik Evaluasi”, bahwa tes ialah suatu percobaan yang diadakan untuk mengetahui ada dan tidaknya hasil - hasil tertentu pada seseorang murid atau kelompok.

Ditinjau dari segi kegunaan untuk mengukur/menentukan prestasi belajar siswa, maka dibedakan atas adanya 3 macam tes, yaitu;

a. Tes Diagnostik

Adalah tes yang digunakan untuk mengetahui kelemahan – kelemahan siswa sehingga berdasarkan kelemahan – kelemahan tersebut dapat dilakukan pemberian perlakuan yang tepat.

b. Tes Formatif

Dari kata "from" yang merupakan dasar dari istilah "formatif", maka evaluasi formatif dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana telah terbentuk setelah mengikuti sesuatu program tertentu. Dalam kedudukannya seperti ini tes formatif dapat juga dipandang sebagai tes diagnostik pada ahkir pelajaran. Evaluasi formatif atau tes formatif diberikan pada ahkir setiap program. Tes ini merupakan post-tes atau tes ahkir.

c. Tes Sumatif

Evaluasi sumatif atau tes sumatif dilaksanakan setelah ahkirnya pemberian sekelompok program atau sebuah program yang lebih besar. Dalam pengalaman di sekolah tes formatif dapat disamakan dengan ulangan harian, sedangkan tes sumatif ini dapat disaamakan dengan ulangan umum yang biasanya dilaksanakan pada tiap akhir catur wulan atau akhir semester akhir37.


Berhubungan dengan adanya bermacam-macam penilaian ini dengan sendirinya akan memiliki fungsi yang berbeda-beda pula.38

1). Tes Dagnostik

Penilaian diagnostik berfungsi untuk menempatkan siswa, yang meliputi hal-hal sebagai berikut:

- Menetapkan ada tidaknya pengetahuan – pengetahuan dan atau keterampilan – keterampilan yang disebut prerequisite.

- Menetapkan tingkat penguasaan siswa terhadap bahan-bahan pelajaran yang diberikan sebelumnya

- Mengelompokan siswa atau dasar bermacam-macam metode pengajar

- Menetapkan faktor-faktor penyebab kegagalan yang berulang-ulang dari siswa dalam belajarnya.

2). Tes Formatif

Sedangkan penilaian formatif memiliki fungsi sebagai berikut:

- Sebagai umpan balik bagi siswa dan guru tentang kemajuan belajar yang berhasil di capai dalam suatu unit pelajaran.

- Menetapkan dimana letak titik-titik kelemahan dari suatu unit pelajaran sehingga dengan demikian dapat di susun dan diberi alternatif-alternatif pengajaran perbaikan.

3). Tes Sumatif

Sedangkan penilaian sumatif memiliki fungsi untuk pemberian tanda lulus atau nilai untuk siswa pada akhir suatu unit pengajaran, semester atau suatu tahap dalam pendidikan di sekolah.

Tiap guru mempunyai pendapat sendiri tentang cara menentukan nilai akhir. Hal ini sangat di pengaruhi oleh cara pandang mereka terhadap penting dan tidaknya bagian kegiatan yang di lakukan oleh siswa. Yang di maksud dengan kegiatan-kegiatan siswa misalnya; menyelesaikan tugas, mengikuti diskusi, menempuh tes formatif, menempuh tes tengah semester, "tes semester", menghadiri pelajaran dan sebagainya.

Sementara guru berpendapat bahwa menghadiri pelajaran dan mengikuti diskusi sudah merupakan kegiatan yang sangat menunjang prestasi sehingga absensi siswa perlu di pertimbangkan dalam menentukan nilai akhir. Guru lain berpendapat sebaliknya, karena walaupun hadir dalam pelajaran, mungkin hanya raganya saja. Dengan demikian tidak ada gunanya memperhitungkan absensi.

Penentuan nilai akhir di lakukan terutama pada waktu guru akan mengisi rapor atau STTB. Biasanya dalam menentukan nilai akhir ini guru sudah di bombing oleh suatu peraturan atau pedoman yang di keluarkan oleh pemerintah atau kantor/badan yang membawahinya.

a). Untuk memperoleh nilai akhir, perlu di perhitungkan nilai tes formatif dan tes sumatif dengan rus sebagai berikut39:

Keterangan:

NA = Nilai Akhir

F = Nilai tes formatif

S = Nilai tes sumatif

Jadi nilai akhir diperoleh dari rata-rata nilai tes formatif (diberi bobot satu) dijumlahkan dengan nilai tes sumatif (diberi bobot dua) kemudian dibagi 3.

b). Nilai Akhir diperoleh dari tugas, nilai ulangan harian dan nilai ulangan umum dengan bobot 2, 3 dan 5. Jadi jika dituliskan dalam rumus menjadi:

Keterangan:

T = Nilai tugas

H = Nilai ulangan harian (rata-ratanya)

U = Nilai ulangan umum


37 Suharsini Arikunto, Dasar- Dasar Evaluasi Pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta 1991 hal: 33-36

38 Mulyadi, Hubungan antara Motivasi dan Intelegensi dengan Prestasi Belajar, FT. IAIN Malang

39 Suharsini Arikunto, Op, Cit hal: 283-285

Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Belajar

Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa itu sendiri.
Menurut Slamento faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern terdiri atas faktor-faktor jasmaniah, psikologi, minat, motivasi dan cara belajar. Faktor ekstern yaitu faktor-faktor keluarga, sekolah dan masyarakat. Salah satu faktor ekstern yang mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah faktor sekolah, yang mencakup metoda mengajar, kurikulum, relasi guru siswa, sarana, dsb.
Metode mengajar adalah salah satu cara yang digunakan di dalam mengajar. Metode mengajar harus tepat, efisien dan efektif sehingga siswa dapat menerima, memahami, menguasai, dan mengembangkan bahan pelajaran. Dalam mengajar beberapa kepribadian guru yang berperan adalah:
a. Penghayatan nilai-nilai kehidupan
Seorang guru harus berpegang pada nilai-nilai tertentu misalnya, tanggung jawab dalam bertindak, kebanggaan atas hasil jerih payahnya sendiri, kerelaan membantu sesama yang memerlukan bantuannya.
b. Motivasi kerja
Merupakan dorongan yang datang dari dalam dirinya untuk mendapatkan kepuasan yang diinginkan, serta mengembangkan kemampuan dan keahlian guna menunjang profesinya yang dapat meningkatkan prestasi dan profesinya. Dalam hal ini, guru yang bercita-cita menyumbangkan keahliannya demi perkembangan anak didiknya, profesi sebagai guru merupakan kepuasan pribadi, rela mengorbankan waktu dan tenaga demi kepentingan anak didiknya.
c. Sifat dan sikap
Guru harus memiliki sifat dan sikap luwes dalam pergaulan, suka humor, rela membantu, kreatif dan berharap bahwa siswa mampu berpartisipasi dalam proses belajar mengajar secara aktif.
Dengan kepribadian guru yang positif, siswa akan merasa senang, puas, dan gembira. Simpati guru merupakan faktor yang sangat utama dalam melaksanakan tugasnya sehingga proses belajar mengajar dapat berjalan sesuai dengan apa yang direncanakan. Di samping itu, siswa dapat mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh guru dengan sebaik-baiknya, dan akan meningkatkan prestasi belajarnya.
Sampai saat ini belum ada teori yang secara komprehensif dapat menjelaskan keberhasilan mengajar. Sejauh ini yang dapat dijelaskan adalah adanya sejumlah faktor yang menurut penelitian teridentifikasi mempunyai hubungan dengan keberhasilan siswa belajar, sehingga dapat diharapkan bila faktor-faktor itu dimanipulasi akan mengakibatkan peningkatan keberhasilan siswa belajar.
Penelitian-penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat (Cruickshank, 1990) mengindikasikan adanya sejumlah faktor yang berpengaruh pada hasil belajar siswa, yang dapat dikategorisasi ke dalam empat variabel, yakni variabel siswa, variabel lingkungan, variabel guru, dan variabel proses pembelajaran. Secara lebih terinci variabel siswa mencakup faktor-faktor kapasitas belajar siswa (berhubungan dengan kematangan dan kecerdasan), motivasi dan kesiapan belajar (penguasaan pengetahuan prasyarat). Variabel lingkungan meliputi faktor sikap orang tua terhadap pendidikan dan sekolah, pola interaksi antarsiswa, populasi kelas, fasilitas belajar (termasuk buku pelajaran). Variabel guru mencakup faktor-faktor penguasaan terhadap materi pelajaran, wawasan dalam bidang ilmu yang diajarkannya, keterampilan mengajar, motivasi kerja, serta kepribadian guru.
Variabel pembelajaran melibatkan interaksi faktor perilaku mengajar guru dan faktor perilaku belajar siswa dalam proses pembelajaran. Dari sudut perilaku mengajar, faktor-faktor yang menunjang efektivitas pembelajaran meliputi organisasi dan sistematika penyajian materi pelajaran, kejelasan (clarity) dan kemenarikan penyajian materi pelajaran, ketercernaan (accessibility) materi pelajaran oleh siswa. Sementara itu dari sudut perilaku belajar, disiplin, motivasi dan keantusiasan siswa dalam pembelajaran menjadi faktor pendukung keberhasilan belajar yang penting. Keberhasilan siswa belajar memerlukan kerjasama sinergis antara guru dan siswa dalam proses pembelajaran.
Seberapa jauh masing-masing faktor berkontribusi pada keberhasilan siswa belajar belum diketahui secara pasti. Penelitian-penelitian yang dilakukan masih terlalu sedikit sehingga hasilnya belum konklusif. Di samping itu pengaruh faktor-faktor tadi tidak linear, terkait satu sama lain, sehingga sulit untuk memprediksi faktor-faktor mana yang secara umum lebih dominan, dan kekuatan pengaruh faktor-faktor tersebut tampak unik untuk setiap siswa.

Pengertian Prestasi Belajar

a. Pengertian Prestasi
Prestasi belajar adalah sebuah kalimat yang terdiri dari dua kata, yaitu;
“ Prestasi” dan “Belajar”. Antara kata “Prestasi” dan “Belajar” mempunyai arti yang berbeda. Oleh karena itu sebelum membahas pengertian prestasi belajar maka kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan “Prestasi” dan “Belajar”.
Prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan baik secara individu maupun kelompok. Prestasi tidak akan pernah dihasilkan selama seseorang tidak pernah melakukan suatu kegiatan. Pencapaian prestasi tidaklah mudah, akan tetapi kita harus menghadapi berbagai rintangan dan hambatan hanya dengan keuletan dan optimis dirilah yang dapat membantu untuk mencapainya.
Berbagai kegiatan dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendapatkan “Prestasi”. Semuanya tergantung dari profesi dan kesenangan dari masing-masing individu. Pada prinsipnya setiap kegiatan harus digeluti secara optimal. Dari kegiatan tertentu yang digeluti untuk mendapatkan prestasi maka beberapa ahli berpendapat tentang “Prestasi” adalah hasil dari suatu kegiatan.
Sajalan dengan itu beberapa ahli berpendapat tentang prestasi antara lain:
1. W.J.S Poerwadarminta,berpendapat bahwa prestasi adalah hasil yang telah dicapai(dilakukan,dikerjakan,dan sebagainya).
2. Mas’ud Said Abdul Qahar, persatasi adalah apa yang telah kita dapat ciptakan, hasil pekerjaan, hasil menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan keuletan.
3. Nasrun Harahap dkk, prestasi adalah penilaian pendidikan tentang perekembangan dan kemajuan murid yang berkenaan dengan penguasaan bahan pelajaran yang disajikan kepada mereka serat nilai-nilai yang terdapat dalam kurikulum.

b. Pengertian Belajar
Setelah diketahui pengertian prestasi, selanjutnya akan dikemukakan pengertian belajar sehingga nanti sampailah pada maksud yang dituju yaitu pengertian tentang “prestasi belajar”.
Belajar selalu mempunyai hubungan dengan arti perubahan, baik perubahan ini meliputi keseluruhan tingkah laku ataupun hanya terjadi beberapa aspek dari kepribadian orang yang belajar. Perubahan ini dalam tiap-tiap manusia dalam hidupnya sejak dilahirkan. Belajar mempunyai pengertian yang sangat umum dan luas, boleh dikatakan sepanjang hidupnya seseorang mengalami proses belajar dari pengalamannya.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa belajar itu meliputi setiap pengalaman yang menimbulkan perubahan dalam pengetahuan, sikap dan ketrampilan seseorang, baik perubahan bersifat positif maupun negatif, baik sengaja maupun tidak sengaja, baik terjadi di dalam sekolah maupun diluar sekolah. Tetapi biasanya belajar diberi pengertian khusus sebagai setiap pengalaman yang menimbulkan perubaha-perubahan tingkah laku yang bersifat positif, yang sengaja diberikan sekolah di bawah bimbingan guru.
Sejalan dengan itu, Sardiman AM. Mengemukakan suatu rumusan bahwa belajar sebagai rangkaian kegiatan jiwa raga, psikofisik menurut perkembangan pribadi manusia seutuhnya, yang menyangkut unsur cipta, rasa dan karsa, ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
Secara umum, belajar boleh dikatakan sebagai suatu proses interaksi antara diri manusia (Id –Ego – Superego) dengan lingkungannya yang mungkin berjudi, fakta, konsep maupun teori. Dalam hal ini terkadang suatu maksud bahwa proses interaksi adalah :
- Proses internalisasi dari suatu kedaan diri yang belajar.
- Dilakukan secara aktif, dengan segenap panca indra ikut bereperan.
Menurut Drs. Slameto, bahwa belajar adalah suatu proses perubahan yaitu tingkah laku sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam proses interaksi dengan lingkungan. Dengan demikian belajar merupakan suatu kegiatan atau proses yang menghasilkan perubahan tingkah laku. Perubahan itu adalah didapatkannya kemampuan baru, yang berlaku dalam waktu yang relatif lama dan perubahan itu terjadi dikarenakan usaha.
Setelah melihat uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian prestasi belajar adalah hasil diperoleh seseorang setelah mengikuti kegiatan atau belajar mengajar dalam jangka waktu tertentu atau setelah menyelesaikan suatu program tertentu yang mengakibatkan perubahan dalam diri individu sebagai hasil dari aktivitas dalam belajar.
Uraian ciri-ciri perubahan tingkah laku tersebut adalah:
1. Perubahan yang terjadi secara sadar.
Ini berarti bahwa individu yang belajar menyadari terjadinya perubahan yang ada pada dirinya sendiri.
2. Perubahan dalam belajar yang bersifat positif dan aktif.
Perubahan belajar anak senantiasa bertambah dan bertujuan untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik sebelumnya. Dengan demikian makin banyak usaha belajar dilakukan, akan makin banyak dan baik perubahan yang diperoleh. Perubahan bersifat efektif artinya bahwa perubahan itu tidak terjadi dengan sendirinya melainkan karena usaha individu itu sendiri.
3. Perubahan dalam belajar bertujuan
Sebagai hasil belajar, perubahan yang terjadi pada individu berlangsung terus-menerus, tidak statis dan berguna bagi hidupnya. Satu perubahan yang terjadi akan menyebabkan perubahan pada proses belajar selanjutnya.
4. Perubahan dalam belajar bersifat kontinyu dan fungsional.
Perubahan yang bersifat sementara atau kontemporer terjadi hanya beberapa saat saja, sedangkan perubahan yang terjadi setelah belajar bersifat menetap.
5. Perubahan dalam belajar bertujuan
Perubahan tingkah laku terjadi karena ada tujuan yang akan dicapai.
Dengan adanya tujuan berarti siswa mengetahui arah mana yang harus ditempuh agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Pada dasarnya perubahan belajar terarah kepda perubahan tingkah laku yang benar-benar disadari.
6. Perubahan mencakup seluruh tingkah laku.
Seseorang yang belajar akan mengalami perubahan tingkah laku secara keseluruhan dalam sikap, ketrampilan, pengetahuan dan sebagainya36.
Prestasi belajar berasal dari kata “prestasi dan belajar”. Menurut Purwodarminto prestasi belajar diartikan sebagai hasil yang dicapai (dilakukan/dikerjakan). Jadi prestasi itu adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan pada suatu tingkat keberhasilan tentang suatu hal, yang disebabkan oleh suatu hal yang telah dilakukan.
Prestasi mencerminkan sejauhmana siswa telah dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan disetiap bidang studi. Gambaran prestasi siswa bisa dinyatakan dengan angka (0 s.d 10).
Dalam proses belajar mengajar, siswa mengalami suatu perubahan dalam bidang pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan sikap. Adanya perubahan ini dapat dilihat dari prestasi belajar siswa yang dihasilkan oleh siswa dari kegiatan mengerjakan soal ulangan dan mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru. Kata prestasi belajar mengandung dua kata yakni “prestasi “ dan “belajar” yang mempunyai arti berbeda. Oleh karena itu sebelum pengertian “prestasi belajar” dibicarakan ada baiknya kedua kata itu dijelaskan artinya satu persatu.
Menurut Syaiful Bahri Djamarah, menyatakan bahwa prestasi adalah penilaian pendidikan tentang perkembangan dan kemajuan murid yang berkenaan dengan penguasaan bahan pelajaran yang disajikan kepada mereka dan nilai-nilai yang terdapat di dalam kurikulum.
Belajar adalah merupakan perubahan tingkah laku untuk mencapai tujuan dari tidak tahu menjadi tahu atau dapat dikatakan sebagai proses yang menyebabkan terjadinya perubahan tingkah laku dan kecakapan seseorang.
Sardiman AM sebagaimana yang dikutip oleh Syaiful Bahri Djamarah menyatakan bahwa belajar adalah rangkaian kegiatan jiwa raga yang menuju perkembangan pribadi manusia seutuhnya, yang menyangkut unsur cipta, rasa, dan karsa, ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
Bertolak dari pendapat di atas jelas menyatakan bahwa belajar itu bertujuan untuk mengembangkan pribadi manusia bukan hanya sekedar mencerdaskan manusia belaka namun menjadi manusia yang berkepribadian yang luhur itulah hakekat sebuah belajar. Dalam mengembangkan kepribadian manusia seutuhnya itu melibatkan unsur-unsur cipta atau membuat sesuatu, rasa/perasaan, karsa/keinginan, kognitif, afektif dan psikomotorik.
Jadi belajar merupakan suatu aktifitas yang sadar akan tujuan. Tujuannya adalah terjadinya suatu perubahan dalam diri individu. Perubahan yang dimaksudkan tentu saja menyangkut semua unsur yang ada pada diri individu.
Dari pendapat tersebut di atas, maka seseorang dinyatakan melakukan kegiatan belajar, setelah ia memperoleh hasil, yakni terjadinya perubahan tingkah laku, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti dan sebagainya. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian belajar adalah suatu proses untuk mencapai suatu kecakapan, kebiasaan, sikap dan pengertian suatu pengetahuan dalam usaha merubah diri menjadi semakin baik dan mampu.
Selanjutnya Abdurrahman Saleh memberikan prestasi belajar atau hasil belajar adalah hasil yang dicapai siswa dari mempelajari tingkat penguasaan ilmu pengetahuan tertentu dengan alat ukur berupa evaluasi yang dinyatakan dalam bentuk angkah huruf atau kata atau simbol, dengan istilah lain yakni prestasi. Salah satu program diklat (mata pelajaran) yang diajarkan di sekolah adalah program diklat (mata pelajaran) kewirausahaan. Pelajaran ini sengaja diterapkan di sekolah-sekolah bertujuan adalah menghasilkan lulusan yang akan menempati lapangan pekerjaan maupun berwiraswasta.
Pengertian prestasi belajar adalah sebagai indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang dikuasai anak didik dalam memahami mata pelajaran di sekolah. Sehingga dari pengertian di atas dapat diketahui yang dimaksud dengan prestasi belajar kewirausahaan adalah bukti keberhasilan siswa dalam penguasaan terhadap program diklat kewirausahaan melalui tahap-tahap evaluasi belajar yang dinyatakan dengan nilai. Untuk mengukur prestasi belajar program diklat kewirausahaan, guru harus memberikan penilaian kepada siswa dalam bentuk angka dan ditulis sebagai laporan pendidikan yang biasanya tercantum dalam raport.
Prestasi belajar siswa bukan semata-mata karena faktor kecerdasan (intelegensia) siswa saja, tetapi ada faktor lain yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa tersebut, secara garis besar faktor-faktor terebut dibagi menjadi dua yakni faktor intern dan faktor ekstern. Faktor-faktor yang dimaksud adalah seperti yang dikemukakan oleh Nana Sudjana sebagai berikut:
1. Faktor interen, yaitu faktor yang terdapat dalam diri individu itu sendiri, antara lain ialah kemampuan yang dimilikinya, minat dan motivasi serta faktor-faktor lainnya.
2. Faktor ekstern, yaitu faktor yang berada di luar individu di antaranya lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.
Sementara itu Winkel merinci faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar adalah:
Faktor pada pihak siswa, terdiri dari:
1. Faktor-faktor psikis intelektual, yang meliputi taraf intelegensi, meliputi motivasi belajar, sikap perasaan, minat, kondisi akibat keadaan sosio kultural atau ekonomis.
2. Faktor-faktor fisik yang meliputi keadaan fisik.
3. Faktor dari luar siswa yang terdiri dari:
a. Faktor-faktor pengatur proses belajar di sekolah, yang meliputi kurikulum pengajaran, disiplin sekolah, teacher efectiveness, fasilitas belajar dan pengelompokkan siswa.
b. Faktor-faktor sosial di sekolah yang meliputi sistem sosial, status sosial, dan interaksi guru dan siswa.
c. Faktor situasional, yang meliputi keadaan politik ekonomis, keadaan waktu dan tempat serta musim iklim.
d. Bakat
e. Minat
f. Emosi
g. Kepribadian
h. Gangguan kejiwaan atau gangguan kepribadian lainnya.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, agar siswa dapat memperoleh prestasi belajar yang seoptimal mungkin, maka siswa perlu meningkatkan kemampuan, minat dan motivasi yang ada dalam dirinya. Demikian pula halnya dengan faktor yang ada di luar diri siswa. Faktor ini dapat mendorong dan menghambat siswa dalam proses belajar. Lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat dapat memberi dukungan siswa di dalam belajar. Di antara ketiga lingkungan tersebut, lingkungan sekolah merupakan lingkungan yang terpenting yang berfungsi sebagai lingkungan kedua yang sangat mendukung dalam mendidik anak atau siswa, setelah lingkungan utama yaitu lingkungan keluarga.
Minat siswa terhadap suatu pelajaran (program diklat) bisa menjadi salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan prestasi belajar siswa. Minat siswa menurut Winkel termasuk faktor yang berpengaruh pada prestasi belajar yang termasuk faktor ekstern.
Prestasi belajar merupakan hasil dari suatu usaha, kemampuan, dan sikap seseorang dalam menyelesaikan suatu hal di bidang pendidikan. Kehadiran prestasi belajar dalam kehidupan manusia pada tingkat dan jenis tertentu yang berada di bangku sekolah.
Prestasi belajar ini merupakan suatu masalah yang berifat perinial dalam sejarah kehidupan manusia karena sepanjang kehidupannya manusia selalu mengejar pretasi menurut bidang dan kemampuannya masing-masing dan prestasi ini dapat memberikan kepuasan pada diri manusia khususnya bagi mereka yang berada dibangku sekolah. Prestasi belajar ini terasa penting untuk dipermasalahkan, karena mempunyai beberapa fungsi utama;
1. Prestasi belajar sebagai indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang dikuasi oleh anak didik
2. Prestasi belajar sebagai lambang pemuasan hasrat ingin tahu. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa para ahli psikologi biasanya menyebut hal ini sebagai tendensi keingin tahuan dan merupakan kebutuhan umum pada manusia termasuk kebutuhan anak didik dalam suatu program pendidikan.
3. Prestasi belajar sebagai bahan informasi dalam inofasi pendidikan, asumsinya adalah bahhwa prestasi belajar dapat dikajikan pendorong bagi anak didik dalam meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi
4. Prestasi belajar sebagai indikator intern dan ekstern dari suatu institusi pendidikan. Asumsinya adalah bahwa kurikulum yang digunakan releven dengan kebutuhan masyarakat, dan anak didik. Indikator ekstern dalam arti bahwa tinggi rendahnya prestasi belajar dapat dijadikan indikator kesuksesan anak didik dalam masyarakat. Asumsinya adalah bahwa kurikulum yang digunakan dalam relevan pula dengan kebutuhan pembangunan masyarakat.
5. Prestasi belajar dapat dijadikan indikator terhadap daya serap (kecerdasan) anak didik. Dalam proses belajar pembelajaran anak didik merupakan masalah anak didik. Dalam proses belajar dan pembelajaran anak didik merupakan masalah yang utama dan pertama karena anak didiklah yang diharapkan dapat menyerap seluruh materi pelajaran yang diprogramkan dalam kurikulum.
Sekolah sebagai salah satu tempat belajar memberikan bermacam-macam pelajaran yang harus ditempuh oleh para siswa untuk mewujudkan suatu tujuan yang ingin dicapai. Pencapaian tujuan ini diukur dengan mengadakan suatu penilaian untuk mengukur hasil belajar tersebut dapat digunakan dengan tes maupun non tes. Dengan itilah lain Nurkancana menyatakan “Ada dua metode yang dapat dipergunakan untuk mengetahui kemajuan yang dicapai oleh murid-murid dalam proses belajar mengajar yang mereka lakukan ialah metode tes dan non tes”.
Dengan melalui pengukuran hasil belajar inilah prestasi hasil belajar siswa dapat diketahui dengan kata lain dari pengukuran hasil belajar siswa itu akan diperoleh tingkat prestasi yang dicapai oleh siswa. Seperti juga dalam bidang studi lain setelah dilaksanakan pengukuran hasil belajar maka hasil tes, sehingga dengan begitu untuk mengetahui prestasi belajar siswa adalah dengan melihat nilai raport maupun hasil tes lain.

Cara Memotivasi Diri untuk Belajar

Dari penelitian – penelitian menunjukkan, bahwa sukses belajar tidak hanya tergantung pada intelegensi si anak, melainkan tergantung pada banyak hal, diantaranya motif-motif. Oleh karena itu upaya menimbulkan tindakan belajar yang bermotif sangat penting. Seperti kita ketahui, latarbelakang motif terutama adalah adanya kebutuhan yang dirasakan oleh anak didik. Maka menyadarkan si anak didik terhadap kebutuhan yang diperluhkan berarti menimbulkan motif belajar anak. Anak didik, terutama yang masih sangat muda, banyak yang belum mengerti arti belajar dan yang dipelajari; untuk pelbagai bahan pelajaran dipelajari dan apakah dipelajari berguna bagi kehidupan dimasa depan, belumlah ia sadari.

Mereka umumnya baru merasakan kebutuhan biologis. Sedang manusia hidup dalam masyarakat, bukan menyendiri; masyarakat tempat pelbagai kemampuan dan kecakapan dituntutnya. Anak harus belajar dan harus mengerti mengapa harus belajar. Maka menyadarkan dan meyakinkan anak akan arti terdidik bagi kedudukan orang dalam masyarakat, menyadarkan dan meyakinkan akan manfaat bahan-bahan pelajaran yang disajikan oleh sekolah bagi kehidupan kelak sesudah meninggalkan sekolah dan sebagainya merupakan usaha-usaha memotivasikan tindakan belajar si anak.

Dalam sejarah Ovide Decroly misalnya, terkenal sebagai orang yang memperhatikan peranan dari pada motivasi dalam belajar. Bahan-bahan pelajaran dipilihnya dengan teliti dan didasarkan pada pokok-pokok yang disebutnya sebagai pusat-pusat minat atau “center d’interset”, Untuk itu diseledikinya berbagai kecenderungan yang ada pada anak, terutama dorongan memperoleh kepuasan diri. Dengan cara demikian dibedakan empat pusat minat pada, yaitu yang berhubungan dengan makanan, pakaian, pertahanan diri dan permainan diri dan permainan atau pekerjaan. Maka jelaslah bahwa belajar itu harus disertai motif. Tanpa motif, tindakan belajar tidak akan mencapai hasil yang memadai.

Kerapkali kebutuhan yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang tertentu kurang disadari oleh anak, sehingga guru atau sekolah harus membuat tujuan sementara atau buatan. Sebagai contoh, guru atau sekolah tentu ingin mengarahkan belajar ke tujuan yang tertentu dan untuk itu diperlukan adanya peningkatan aktivitas belajar anak. Tetapi usaha peningkatan ini tidaklah mudah, maka diciptakanlah tujuan buatan (artificial). Misalnya dikeluarkanlah peraturan atau janji, bahwa barang siapa dapat menunjukkan prestasi belajar yang paling baik di kelasnya, akan mendapatkan gelar “bintang kelas”, atau yang paling baik prestasi belajarnya di sekolah akan mendapat gelar “bintang sekolah”. Maka murid-murid akan saling berlomba, mereka berusaha belajar dengan giat, karena memperoleh gelar “bintang” tersebut sudah merupakan kebutuhan, dalam hal ini kebutuhan sosial.

Dengan gelar itu mereka merasa memperoleh penghargaan, kehormatan, bahkan simbol pujian, terutama dari orangtuanya. Maka kini tindakan belajar mereka sudah merupakan tindakan bermotif, yaitu berdasar adanya kebutuhan yang dirasakan dan terarah kepada tercapainya tujuan, yaitu mendapat “piagam” atau dan sebagainya. Itu bagi si anak didik. Tetapi dilihat dari pihak sekolah atau guru pemberian piagam atau tanda lain itu bukanlah tujuan pendidikan yang hakiki, melainkan sebagai alat untuk menimbulkan tindakan belajar yang beromotif, yang dengan faktor itu diharapkan akan tercapai tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Proses penggunaan tujuan buatan (sementara) untuk menimbulkan aktivitas yang diperlukan dalam mencapai tujuan yang sesungguhnya merupakan proses kondisioning. Tujuan buatan, yang dimaksudkan agar dikejar oleh anak didik dengan aktivitasnya itu lazim disebut sebagai reinfocer34.

Robert H. Davis mengemukakan 9 prinsip belajar mengajar yang dapat memotivasi siswa agar mau dan dapat belajar sebagai berikut:

1. Prinsip Prerikwisit (Prasyarat)

Siswa terodorong untuk mempelajari sesuatu yang baru bila telah memiliki bekal yang merupakan prasyarat bagi pelajaran itu. Bila guru mengabaikan hal ini bisa menimbulkan kebosanan bagi siswa-siswa yang telah menguasai dan sebaliknya atau menimbulkan frustrasi bagi siswa-siswa merasa sukar dan tidak dapat menguasainya.

2. Prinsip Kebermaknaan

Siswa termotivasi untuk belajar bila materi pelajaran itu bermakna baginya. Oleh sebab itu hendaknya guru dalam menyampaikan materi pelajaran dihubungkan dengan apa yang dialaminya, dihubungkan dengan kegunaan di masa depan dan dihubungkan dengan apa yang menjadi minatnya.

3. Prinsip Modeling

Siswa termotivasi untuk menunjukan tingkah laku bila sekiranya tingkah laku itu dimodelkan oleh gurunya (Performance Modeling). Dalam hal ini siswa akan lebih suka menuruti apa yang dilakukan oleh gurunya dari pada yang dikatakan, sehingga di sini berlaku prinsip “The Medium is the Message”.


4. Prinsip Komunikasi Terbuka

Siswa termotivasi untuk belajar bila informasi dan harapan yang disampaikan kepadanya terstruktur dengan baik dan komonikatif. Dalam hal ini Bruner meyarankan agar pengajaran menjadi lebih efektif perlu materi pelajaran distrukturkan dengan baik dengan pengolahan pesan yang komunikatif. Salah satu contoh dari prinsip ini ialah: perumusan dan pemberitahuan tujuan instruksional dengan jelas, menggunakan kata-kata yang sederhana sehingga mudah dimengerti oleh siswa.

5. Prinsip Atraktif

Siswa termotivasi untuk belajar pesan dan informasinya disampaikan secara menarik (atraktif). Oleh karena itu guru harus selalu berusaha menyajikan materi pelajaran dengan cara manarik perhatian, dan alangkah baiknya kalau setiap materi pelajaran dapat diikuti dan diterima siswa dengan perhatian yang cukup intensif.

6. Prinsip Partisipasi dan Keterlibatan

Siswa termotivasi untuk belajar apabila merasa terlibat dan mengambil bagian aktif dalam kegiatan itu. Dengan demikian guru perlu menerapkan konsep kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dalam pelakasanaan proses belajar mengajar, karena dengan konsep ini siswa mengalami keterlibatan intelektual emosional di samping keterlibatan fisik didalam proses belajar mengajar.

7. Prinsip Penarikan Bimbingan Secara Berangsur

Siswa termotivasi untuk belajar jika bimbingan dan petunjuk guru berangsur-angsur ditarik. Penarikan itu mulai dilaksanakan bila siswa-siswa sudah mulai mengerti dan menguasai apa yang sudah dipelajari.

8. Prinsip Penyebaran Jadwal

Siswa termotivasi untuk belajar bila program-program belajar mengajar dijadwalkan dalam keadaan tersebar dalam periode waktu yang tidak terlalu lama. Program-program belajar mengajar dalam waktu yang lama dan secara berturut-turut cenderung akan membosankan siswa.

9. Prinsip Konsekuen dalam Kondisi yang Menyenangkan

Siswa termotivasi untuk belajar bila kondisi instruksionalnya menyenangkan, sehingga memberi kemungkinan terjadinya belajar secara optimal.

Motivasi yang bersifat intrinsik mempunyai peranan yang ampuh dalam peristiwa belajar, tetapi walaupun memberikan tugas. Dalam memberikan tugas kepada murid-murid harus dilihat dan diingat hubungan tingkat kebutuhan murid dan tingkat motivasi yang akan dikenakan. Guru harus cerdik melibatkan “ego involement” murid. Bila motivasi tersebut dikenakan secara tepaat akan menyentuh ego involvement murid, sehingga setiap tugas yang memberikan akan dianggap sebagai tantangan, hal ini menyebabkan yang bersangkutan akan mempertahankan harga dirinya untuk menyelesaikan tugasnya dengan penuh semangat. Murid akan merasa puas dan harga dirinya timbul bila dapat menyelesaikan tugas yang diberikan. 35


34 Ahmad. Thanthowi, Psikologi Pendidikan. PT. Angkasa Bandung 1991. hlm : 72-73

35 . Mulyadi OP, Cit, Hal: 28-31.

Teori Humanistik dan Behavioristik terkait Motivasi

Teori Humanistik Tentang Motivasi
Para ahli Humanistik percaya bahawa hanya ada satu motivasi, yaitu motivasi yang berasal dari masing-masing individu yang dimiliki oleh individu itu sepanjang waktu. Keinginan dasar yang dimiliki masing-masing peserta dasar didik dibawanya kesekolah. Pembina didik hanya tinggal manfaatkan dorongan ingin tahu peserta didik yang bersifat alamiah dengan cara manyajikan materi yang cocok dan berarti bagi peserta didik.
Apapun model penyajian yang dilaksanakan untuk membuat belajar, mereka akan tetap termotivasi, asalkan itu dengan kepentingan dirinya pada saat sekarang atau pada masa yang akan datang. Misalnya peserta didik harus tahu apa gunanya mempelajarin matematika dalam kehidupan.
Materi yang diberikan kepada peserta didik hendaklah dirasakan sebagai sesuatu yang memuaskan kebutuhan ingin tahu dan minatnya.

Teori Behavioristik tentang Motivasi
Ahli-ahli Behavioristik yakni bahwa motivasi dikontrol oleh lingkungan. Manusia bertingkah laku kalau ada rasangan dari luar, dan kuat/lemahnya tingkah laku dipengaruhi oleh kejadian sebagai konsekuensi dari tingkah laku itu yang dapat menggugah emosi yang bertingkah laku.
Inti dari penerapan pandangan ahli-ahli Behavioristik adalah apa yang disebut dengan “contingency management” yaitu penguatan tingkah laku melalui akibat dari tingkah laku itu sendiri. Kalau peserta didik bertingkah laku benar, maka akibat dari tingkah lakunya itu akan mendapatkan ksenangan, yaitu menerima hadiah atau penghargaan. Sebaliknya jika tingkah lakunya salah, maka peserta didik mendapat hukuman atau ketidakenakan.
Berdasarkan pendapat yang praktis itu, maka dengan melaksanakan contingency management pendidikan dapat menangani situasi kelas dan dapat memakainya sebagai alat untuk memotivasi peserta didik.
Oleh karena itu dalam pandanagan Behavioristik motivasi dikontrol oleh kondisi lingkungan, maka tergantung pada pendidiklah pengaturan lingkungan kelas sehingga peserta didik termotivasi dalam belajar. Kegagalan peserta didik dalam belajar berarti kegagalan pendidik dalam mengatur program belajar, bukan kegagalan peserta didik karena ketidak mampuannnya.

Teori Kebutuhan Maslow Terkait Motivasi

Motivasi itu tidak pernah dikatakan baik, apabila tujuan yang diinginkan itu tidak baik. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa motivasi selalu berkaitan dengan kebutuhan, Abraham Maslow mengklasifikasikan kebutuhan secara berurutan, menjadi 6 bagian. Konsep Abraham Maslow dikenal dengan piramida kebutuhan.




Keterangan :
1) Kebutuhan fisiologi (phsycological needs)
2) Kebutuhan rasa aman ( Safety needs)
3) Kebutuhan mendapatkan kasih sayang dan memiliki (needs for belonging and love).
4) Kebutuhan memperoleh penghargaan orang (needs for esteem)
5) Kebutuhan aktualisasi diri (needs for self actualization)
6) Kebutuhan untuk mengetahui dan mengerti (needs to know and understand)32
Untuk lebih jelasnya berikut ini akan kami uraikan masing-masing kebutuhan:

a) Kebutuhan fisiologis
Kebutuhan fisiologis adalah merupakan jasmani manusia, misalnya akan makan, minum, tidur, istirahat dan sebagainya. Untuk belajar yang efektif dan efisien, siswa harus sehat. Jika siswa sakit hal itu dapat mengganggu kerja otak yang mengakibatkan terganggunya kondisi fisik, yang kemudian dapat mengganggu konsentrasi belajar.
b) Kebutuhan rasa aman
Manusia membutuhkan ketenteraman dan keamanan jiwa. Perasaan takut akan kegagalan, kecemasan, kecewa, dendam, ketidakseimbangan mental dan kegoncangan-kegoncangan emosi yang lain dapat mengganggu kelancaran belajar siswa. Agar belajar siswa dapat meningkat kearah yang lebih efektif, maka siswa harus menjaga keseimbangan emosi, sehingga perasaan menjadi aman dan konsentrasi pikiran dapat dipusatkan pada pelajaran.
c) Kebutuhan mendapatkan kasih-sayang dan memiliki.
Dengan mendapatkan kasih sayang, seseorang merasa bahwa ia diterima oleh kelompoknya, merasa bahwa ia merupakan salah seorang anggota keluarga yang cukup berharga. Agar setiap siswa merasa ia diterima dalam kelompoknya, maka dapat dilakukan dengan cara belajar bersama dengan teman yang lain. Hal ini dapat meningkatkan pengetahuan dan ketajaman berfikir siswa. Kebutuhan untuk diakui sama dengan orang lain sering mendapatkan kasih sayang dan memiliki merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi.

d) Kebutuhan memperoleh penghargaan orang lain
Harga diri seseorang timbul dalam hubungannya dengan orang lain seseorang akan merasa dirinya dihargai oleh orang lain apabila ia merasa bahwa dirinya dianggap penting dalam hal ini tugas guru adalah mencari dalam diri siswa, apa yang membuat siswa itu merasa dirinya dianggap penting.
e) Kebutuhan untuk aktualisasi diri
Setiap individu memiliki potensi atau bakat masing-masing yang terkandung di dalam dirinya. Kebutuhan aktualisasi diri atau untuk mewujudkan diri sendiri, yakni mengembangkan bakat dengan usaha mencapai hasil dalam bidang pengetahuan, sosial dan pembentukan pribadi.
f) Kebutuhan untuk mengetahui dan mengerti
Kebutuhan untuk mengetahui dan mengerti adalah kebutuhan untuk mengetahui rasa ingin tahu, mendapatkan pengetahuan, informasi dan untuk mengerti sesuatu. Untuk memenuhi kebtuhan ini dapat diupayakan melalui belajar.
Hirarki kebutuhan sebagaimana dikemukakan di atas menggambarkan bahwa setiap tingkat di atasnya hanya dapat dibangkitkan apabila telah dipenuhi tingkat motivasi yang dibawahnya. Bila guru mengingingkan siswanya belajar dengan baik maka harus dipenuhi tingkat yang terendah dan tingkat yang tertinggi. Guru dalam memberikan motivasi kepada siswa hendaklah menciptakan suasana lingkungan yang menyenangkan bagi siswa dengan suasana yang menyenangkan itu siswa dapat belajar secara optimal.
Dalam memberi motivasi ada beberapa teori yang perlu diketahui antara lain:
1) Teori Fisiologi
Menurut teori ini bahwa semua tindakan manusia itu berakal pada usaha yang memenuhi kepuasan dan kebutuhan organik atau kebutuhan fisik, seperti tentang makanan. Dari teori ini muncul tentang perjuangan hidup.
2) Teori Psikoanalitik
Teori ini mengatakan bahwa setiap tindakan manusia karena ada unsur pribadi yakni id dan ego.
3) Teori Kebutuhan
Toeri ini beranggapan bahwa tindakan yang dilakukan oleh manusia pada hakekatnya adalah untuk memenuhi kebutuhannya, baik fisik maupun psikis. Seorang pendidik dalam memberikan motivasi harus mengetahui terlebih dahulu apa kebutuhan siswanya.
4) Toeri Reaksi yang dipelajari
Teori ini berpandangan bahwa tindakan atau prilaku manusia berdasarkan pola tingkah laku yang dipelajari dari kebudayaan ditempat orang itu hidup. Orang belajar paling banyak dari lingkungan ditempat ia hidup dan dibesarkan. Apabila seorang guru ingin memotivasi siswanya, maka harus benar-benar mengetahui latar belakang kehidupan dan kebudayaan siswanya.
Selanjutnya untuk mengetahui dan melengkapi uraian tentang motivasi itu perlu dikemukakan adanya beberapa ciri motivasi. Motivasi yang ada pada diri setiap orang tua memiliki ciri sebagai berikut:
(a) Tekun menghadapi tugas
(b) Ulet menghadapi kesulitan, tidak memerlukan dorongan dari luar untuk berprestasi sebaik mungkin
(c) Menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah untuk orang dewasa
(d) Lebih senang bekerja mandiri
(e) Cepat bosan terhadap tugas-tugas yang rutin
(f) Dapat mempertahankan pendapatnya kalau sudah yakin akan sesuatu
(g) Tidak mudah melepaskan hal yang dia miliki
(h) Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal.
Apabila seseorang memiliki ciri-ciri seperti diatas, berarti seseorang itu selalu memiliki motivasi yang cukup kuat. Ciri-ciri motivasi seperti itu akan sangat penting dalam kegiatan belajar mengajar.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Belajar

Dalam kegiatan belajar mengajar peranan motivasi sangat diperlukan. Motivasi bagi siswa dapat mengembangkan aktifitas dan inisiatif, dapat mengarahkan akan memelihara ketekunan dalam melakukan kegiatan belajar. Dalam kaitannya dengan itu perlu diketahui ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi motivasi belajar, yaitu:

a. Kematangan

b. Usaha yang bertujuan

c. Pengetahuan mengenai hasil dalam motivasi

d. Partisipasi

e. Penghargaan dan hukuman30

Berikut ini uraian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar:

a) Kematangan

Dalam pemberian motivasi, faktor kematangan fisik, sosial dan psikis haruslah diperhatikan, karena hal itu dapat mempengaruhi motivasi. Seandainya dalam pemberian motivasi itu tidak memperhatikan kematangn, maka akan mengakibatkan frustasi dan mengakibatkan hasil belajar tidak optimal.

b) Usaha yang bertujuan

Setiap usaha yang dilakukan mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Semakin jelas tujuan yang ingin dicapai, akan semakin kuat dorongan untuk belajar.

c) Pengetahuan mengenai hasil dalam motivasi

Dengan mengetahui hasil belajar, siswa terdorong untuk lebih giat belajar. Apabila hasil belajar itu mengalami kemajuan, siswa akan berusaha untuk mempertahankan atau meningkat intensitas belajarnya untuk mendapatkan prestasi yang lebih baik di kemudian hari. Prestasi yang rendah menjadikan siswa giat belajar guna memperbaikinya.

d) Partisipasi

Dalam kegiatan mengajar perluh diberikan kesempatan pada siswa untuk berpartisipasi dalam seluruh kegiatan belajar. Dengan demikian kebutuhan siswa akan kasih sayang dan kebersamaan dapat diketahui, karena siswa merasa dibutuhkan dalam kegiatan belajar itu.

e) Penghargaan dengan hukuman

Pemberian penghargaan itu dapat membangkitkan siswa untuk mempelajari atau mengerjakan sesuatu. Tujuan pemberian penghargaan berperan untuk membuat pendahuluan saja. Pengharagaan adalah alat, bukan tujuan. Hendaknya diperhatikan agar penghargaan ini menjadi tujuan. Tujuan pemberian penghargaan dalam belajar adalah bahwa setelah seseorang menerima pengharagaan karena telah melakukan kegiatan belajar yang baik, ia akan melanjutkan kegiatan belajarnya sendiri di luar kelas. Sedangkan hukuman sebagai reinforcement yang negatif tetapi kalau diberikan secara tepat dan bijak bisa menjadi alat motivasi. Mengenai ganjaran ini juga dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 124 berikut ini :

ومن يعمل من الصالحات من ذكر او انثى وهو مؤمن فأولئك يدخلون الجنة ولا يظلمون نقيرا

Artinya:

Barang siapa yang mengerjakan amal-amal soleh baik laki-laki maupun wanita sedang ia seorang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walaupun sedikitpun. (QS. An-Nisa’ : 124)31



30 Mulyadi. Psikologi Pendidikan. Biro Ilmiah Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang, 1991. hlm: 92-93

31 Departement AgamaRebuplik Indonesia Al-qur’an dan Terjemahannya Hal; 124.

Makalah: Pengertian Motivasi Belajar

Banyak sekali, bahkan sudah umum orang menyebut dengan “motif” untuk menunjukan mengapa seseorang itu berbuat sesuatu10. Motif dan motivasi berkaitan erat dengan penghayatan suatu kebutuhan. Kata “motif”, diartikan sebagai daya upaya mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu.

Berawal dari pendekatan kata “motif” tersebut dapat ditarik persamaan bahwa keduanya menyatakan suatu kehendak yang melatarbelakangi perbuatan. Banyak para ahli yang memberikan batasan tentang pengertian motivasi antara lain adalah sebagai berikut:

a. Mc. Donald yang dikutip oleh Sardiman mengemukakan, motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahulu dengan tanggapan terhadap adanya tujuan11

b. Tabrani Rusyan berpendapat, bahwa motivasi merupakan kekuatan yang mendorong seseorang melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan12.

c. Heinz Kock memberikan pengertian, motivasi adalah mengembangkan keinginan untuk melakukan sesuatu13.

d. Dr. Wayan Ardhan menjelaskan, bahwa motivasi dapat dipadang sebagai suatu istilah umum yang menunjukkan kepada pengaturan tingkah laku individu dimana kebutuhan-kebutuhan atau dorongan-dorongan dari dalam dan insentif dari lingkungan mendorong individu untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhannya atau untuk berusaha menuju tercapainya tujuan yang diharapkan14.

e. Gleitman dan Reiber yang dikutip oleh Muhibbin Syah berpendapat, bahwa motivasi berarti pemasok daya (energizer) untuk bertingkah laku secara terarah15.

Dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa motivasi adalah sesuatu yang kompleks, karena motivasi dapat menyebabkan terjadinya perubahan energi dalam diri individu untuk melakukan sesuatu yang didorong karena adanya tujuan, kebutuhan atau keinginan.

Dalam pembahasan skripsi yang penulis maksudkan adalah motivasi dalam belajar. Oleh karena itu sebelum menguraikan apa itu motivasi belajar terlebih dahulu diuraikan tentang belajar.

Belajar adalah suatu bentuk perubahan tingkah laku yang terjadi pada seseorang. Untuk lebih jelas penulis akan kemukakan pendapat para ahli:

a. Sumadi Soerya Brata mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan belajar adalah membawa perubahan yang mana perubahan itu mendapatkan kecakapan baru yang dikarenakan dengan usaha atau disengaja16.

b. L. Crow dan A. Crow, berpendapat bahwa pelajaran adalah perubahan dalam respon tingkah laku (seperti inovasi, eliminasi atau modifikasi respon, yang mengandung setara dengan ketetapan) yang sebagian atau seluruhnya disebabkan oleh pengalaman. “pengalaman” yang serupa itu terutama yang sadar, namun kadang-kadang mengandung komponen penting yang tidak sadar, seperti biasa yang terdapat dalam belajar gerak ataupun dalam reaksinya terhadap perangsang-perangsang yang tidak teratur, termasuk perubahan-perubahan tingkah laku suasana emosional, namun yang lebih lazim ialah perubahan yang berhubungan dengan bertambahnya pengetahuan simbolik atau ketrampilan gerak, tidak termasuk perubahan-perubahan fisiologis seperti keletihan atau halangan atau tidak fungsinya indera untuk sementara setelah berlangsungnya pasangan-pasangan yang terus menerus17.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan itu pada dasarnya merupkan pengetahuan dan kecakapan baru dalam perubahan ini terjadi karena usaha, sebagaimana firman Allah SWT. Dalam surat Ar-Ro’du ayat 11 yang berbunyi:

إن الله لا يغيّر ما بقوم حتىّ يغيّروا ما بأنفسهم. (الرعد: )

Artinya : Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaanya sendiri18.

Setelah penulis menguraikan defenisikan motivasi dalam belajar, maka dapat diambil pengertian bahwa yang dimaksud dengan motivasi belajar adalah suatu daya upaya penggerak atau membangkitkan serta mengarahkan semangat individu untuk melakukan perbuatan belajar.

Untuk dapat mendalami dan mempunyai suatu gambaran yang mendalam serta jelas mengenai motivasi belajar, maka hal ini penulis kemukakan menurut para cerdik pandai mengenai motivasi belajar, yaitu:

Menurut H. Mulyadi menyatakan bahwa motivasi belajar adalah membangkitkan dan memberikan arah dorongan yang menyebabkan individu melakukan perbuatan belajar19.

Dan menurut Tadjab, motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan kegiatan belajar itu demi mencapai suatu tujuan. 20

Sedangkan menurut Sadirman, motivasi belajar adalah merupakan faktor psikis yang bersifat non intelektual, peranan yang luas adalah dalam hal menimbulkan gairah, merasa senang dan semangat untuk belajar, siswa yang memeliki motivasi kuat, akan mempunyai banyak energi unuk melakukan kegiatan belajar21.

Dari pendapat ahli diatas penulis penulis mempuyai pemahaman bahwa yang dimaksud dengan motivasi belajar adalah motivasi yang mampu memberikan dorongan kepada siswa untuk belajar dan melangsungkan pelajaran dengan memberikan arah atau tujuan yang telah ditentukan.



10 Tadjab MA Ilmu Pendidikan. Karya Abditama Surabaya 1994 hlm: 101

11 Sardiman A., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. CV. Rajawali Pers. Jakarta. 1990. hlm: 73

12 Tabrani Rusyan, dkk Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. CV. Remaja Rosdakarya. Bandung. 1989, hlm:95

13 Heinz Kcok, Saya Guru Yang Baik, Kanisius. Yogyakarta. 1991, hlm:69

14 Wayan Ardhana, Pokok-pokok Jiwa Umum. Usaha Nasional.Surabaya 1985. hlm: 165

15 Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. 2002 hlm

16 Suryadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Rajawali Press Jakarta. 1984. hlm: 248

17 L, Crow dan A. Crow, Psychology Pendidikan, Nurcahaya,Yogyakarta, 1989, hlm: 279

18 Depag, Al-Qur’an dan Terjemahan, 1989. hlm: 563

19 Mulyadi, Psikologi Pendidikan, Biro Ilmiah, FT. IAIN Sunan Ampel, Malang, 1991, hlm:87

20 Tadjab MA, Op.Cit. hlm: 102

21 Sardiman, Op,Cit, hlm: 75

Standar Efektifitas Pembelajaran PAI

Guru memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan kuantitas dan kualitas pengajaran yang dilaksanakannya khususnya dalam pembelajaran PAI. Guru berperan sebagai pengelola proses pembelajaran, bertindak selaku fasilitator yang berusaha menciptakan kondisi pembelajaran yang efektif sehingga memungkinkan proses pembelajaran, mengembangkan bahan pengajaran dengan baik dan meningkatkan kemampuan siswa untuk menyimak pelajaran dan menguasai tujuan-tujuan pendidikan yang harus mereka capai.
Standar efektifitas pembelajaran PAI antara lain:
1. Dapat melibatkan siswa secara aktif.
Menurut William Burton mengajar adalah membimbing kegiatan belajar siswa sehingga ia mau belajar. Dengan demikian, aktivitas murid sangat diperlukan dalam proses pembelajaran, sehingga muridlah yang seharusnya banyak aktif sebab murid sebagai subyek didik adalah yang merencanakan dan ia sendiri yang melaksanakan belajar.
2. Dapat menarik minat dan perhatian siswa.
Kondisi belajar yang efektif adalah adanya minat dan perhatian siswa dalam belajar. Minat merupakan suatu sifat yang relatif menetap pada diri seseorang. Minat ini besar sekali pengaruhnya terhadap belajar sebab dengan minat seseorang akan melakukan sesuatu yang diminatinya. Keterlibatan siswa dalam belajar erat kaitannya dengan sifat-sifat murid, baik yang bersifat kognitif, afektif maupun psikomotorik. Sehingga hal itu akan menjadikan pembelajaran PAI berjalan secara efektif.


3. Dapat membangkitkan motivasi siswa.
Motivasi adalah suatu proses untuk menggiatkan motif-motif menjadi perbuatan atau tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan, atau kesadaran dan kesiapan dalam diri individu yang mendorong tingkah lakunya untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu. Pembelajaran PAI bisa dikatakn efektif apabila dapat membangkitkan motivasi siswa yang sedang belajar.
4. Prinsip individualitas.
Pembelajaran PAI akan berjalan efektif kalau guru selalu harus memperhatikan keragaman karakteristik setiap siswa karena dengan begitu maka siswa akan merasakan perhatiannya dan pembelajaran juga akan terlaksana dengan maksimal.
5. Peragaan dalam pengajaran.
Belajar yang efektif harus mulai dengan pengalaman langsung atau pengalaman konkrit dan menuju kepada pengalaman yang lebih abstrak. Dan apabila pembelajaran dilaksanakan dengan melaksanakan peragaan yang sesuai maka akan dapat membantu siswa dalam pembelajaran.
6. Pembelajaran yang dapat menjadikan siswa antusias.
Kenatusiasan siswa dalam pembelajaran khususnya PAI akan berpengaruh pada efektifitas proses pembelajaran yang dilakukannya.

Tujuan dan Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam

Secara umum, pendidikan agama Islam bertujuan untuk “meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”.(GBPP PAI 1994).
Dari tinjauan tersebut dapat ditarik beberapa dimensi yang hendak ditingkatkan dan dituju oleh kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam, yaitu:
1) Dimensi keimanan peserta didik terhadap ajaran agama Islam.
2) Dimensi pemahaman atau penalaran (intelektual) serta keilmuan peserta didik terhadap ajaran agama Islam.
3) Dimensi penghayatan atau pengalaman batin yang dirasakan peserta didik dalam menjalankan ajaran Islam.
4) Dimensi pengamalannya, dalam arti bagaimana ajaran Islam yang telah diimani, dipahami dan dihayati atau diinternalisasikan oleh peserta didik itu mampu menumbuhkan motivasi dalam dirinya untuk menggerakkan, mengamalkan dan menaati ajaran agama dan nilai-nilainya dalam kehidupan pribadi sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta mengaktualisasikan dan merealisasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Di dalam GBPP mata pelajaran pendidikan agama Islam kurikulum 1999, tujuan PAI tersebut lebih dipersingkat lagi, yaitu: “agar siswa memahami, menghayati, meyakini dan mengamalkan ajaran Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman, bertaqwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia”. Rumusan tujuan PAI ini mengandung pengertian bahwa proses pendidikan agama Islam yang dilalui dan dialami oleh siswa di sekolah, dimulai dari tahapan kognisi, yakni pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap ajaran dan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam, untuk selanjutnya menuju ke tahapan afeksi, yakni terjadinya proses internalisasi ajaran dan meyakininya. Tahapan afeksi ini terkait erat dengan kognisi, dalam arti penghayatan dan pemahamannya terhadap ajaran dan nilai agama Islam. Melalui tahapan afeksi tersebut diharapkan dapat tumbuh motivasi dalam diri siswa dan tergerak untuk mengamalkan dan menaati ajaran Islam (tahapan psikomotorik) yang telah diinternalisasikan dalam dirinya. Dengan demikian, akan terbentuk manusia muslim yang beriman, bertakwa dan berakhlaq mulia.
Sedangkan tujuan pendidikan agama Islam (kurikulum PAI: 2002) seperti yang telah dikutip oleh Abdul Majid, bahwa tujuannya untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketakwaannya, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka ruang lingkup materi PAI (kurikulum 1994) pada dasarnya mencakup tujuh unsur pokok, yaitu Al-Qur’an, Hadist, Keimanan, Syari’ah, Ibadah, Muamalah, Akhlak dan Tarikh (sejarah Islam) yang menekankan pada perkembangan politik. Sedangkan pada kurikulum tahun 1999 dipadatkan lagi menjadi lima unsur pokok yaitu: Al-Qur’an, Keimanan, Akhlaq, Fiqih dan bimbingan ibadah, serta tarikh/ sejarah yang lebih menekankan pada perkembangan ajaran agama ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam

Dasar-dasar pelaksanaan pendidikan agama di Indonesia memiliki status yang cukup kuat. Dasar tersebut dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu:
a. Dasar dari segi yuridis/ hukum.
Dasar yuridis adalah dasar pelaksanaan pendidikan agama Islam berasal dari perundang-undangan yang secara tidak langsung dapat menjadi pegangan dalam melaksanakan pendidikan agama di sekolah secara formal. Dasar yuridis formal ini terdiri dari tiga macam, yaitu:
1) Dasar Ideal adalah dasar dari falsafah negara, pancasila sila pertama ialah ketuhanan Yang Maha Esa.
2) Dasar Struktur/ Konstitusional adalah dasar-dasar dari UUD 1945 Bab XI pasal 29 ayat 1 dan 2, yang berbunyi: (1) Negara berdasarkan Atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
3) Dasar Operasional, yaitu terdapat dalam Tap MPR No.IV/MPR/1973 yang kemudian dikokohkan dalam Tap MPR No.IV/MPR a978 jo. Ketetapan MPR Np. II/MPR/1983, diperkuat oleh Tap.MPR No. II/MPR/1988 dan Tap. MPR No.II/MPR 1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang pada pokoknya menyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan agama secara langsung dimaksudkan dalam kurikulum sekolah-sekolah formal, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Dan diperkuat lagi dengan Undang-undang RI No.20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS Bab X Pasal 37 ayat 1 da 2 yang berbunyi sebagai berikut: (1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani, ketrampilan/ kejuruan dan muatan lokal. (2) Pendidikan tinggi wajib memuat: pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa.
b. Dasar dari segi Religius.
Dasar religius ini bersumber dari agama Islam yang tertera dalam ayat Al-Qur’an dan Hadits, yaitu:
1. Sumber dari al-Qur’an. Antara lain:
a) Surat Al-Mujadalah ayat 11:
. . . يَرْفَعِ اللهُ الّذِيْنَ امَنُوْا مِنْكُمْ وَالّذِيْنَ اُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجتٍ. . .(المجادله: 11)
“. . . . niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan beberapa derajat . . .”(QS. Al-Mujadalah:11).

b) Dalam surat An-Nahl ayat 125;
اُدْعُ اِلى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ . . . (النحل: 125)
“Ajaklah kepada Tuhanmu dengan cara yang bijaksana dan dengan nasehat yang baik”.(QS. An-Nahl: 125).

2. Sumber dari hadits, yaitu:
a) Hadist Riwayat Bukhori:
بَلِّغُوْا عَنِّيْ وَلَوْايَه (رواه البخاري)
“Sampaikanlah ajaranku kepada orang lain walaupun hanya sedikit”. (HR. Bukhari).


b) Hadist Riwayat Baihaqi:

كُلُّ مَوْلُوْدٍ ُيْولَدُ عَلى الْفِطْرَةِ فَاَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِه اَوْيُنَصِّرَانِه اَوْ يُمَجِّسَانِه (رواه البيهقى)
“Setiap anak yang dilahitkan itu telah membawa fitrah beragam (perasaan percaya kepada Allah) maka kedua orang tauanyalah yang menjadikan anak tersebut beragam Yahudi, Nasroni atau Majusi”. (HR. Baihaqi)

c. Dasar dari segi sosial psikologis.
Semua manusia dalam hidupnya di dunia ini selalu membutuhkan adanya suatu pegangan hidup yang disebut dengan agama. Mereka merasakan bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya zat Yang Maha Kuasa, tempat mereka berlindung dan tempat mereka meminta pertolongan.
Hal seperti ini terjadi pada masyarakat yang masih primitif maupun modern. Mereka akan merasa tenang dan tentram hatinya kalau mereka dapat mendekatkan dan mengabdi beribadah kepada Allah SWT, sebagaimana dalam surat Ar-Ra’du ayat 28:
. . . اَلَا بِذِ كْرِاللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبَ (الرعد:28)
“Ketahuilah bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenteram”.(Q.S. Ar-Ra’du: 28)

Pengertian Pendidikan Agama Islam

Di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSNPN) No. 2/1989 pasal 39 ayat (2) ditegaskan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat, antara lain pendidikan agama. Dan dalam penjelasannya dinyatakan bahwa pendidikan agama merupakan usaha untuk memperkuat iman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.
Dari pengertian diatas maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar, yakni suatu kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan yang dilakukan secara berencana dan sadar atas tujuan yang hendak dicapai.
Sedangkan dalam (Kurikulum PAI, 3: 2002) seperti yang telah dikutip oleh Abdul Majid, mengatakan bahwa pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, ajaran agama Islam yang dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.

Contoh Makalah

"BERIKUT INI ADALAH CONTOH PENULISAN MAKALAH YANG BAIK DAN BENAR"
Makalah ini berjudul: “Konsep Link and Match: Fungsi Pendidikan Sebagai Pemasok Tenaga Kerja Siap Pakai” yang ditulis oleh Nunung Isa Anshori



I. Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini banyak lontaran kritik terhadap sistem pendidikan yang pada dasarnya mengatakan bahwa perluasan kesempatan belajar cenderung telah menyebabkan bertambahnya pengangguran tenaga terdidik dari pada bertambahnya tenaga produktif yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. Kritik ini tentu saja beralasan karena data sensus penduduk memperhatikan kecenderungan yang menarik bahwa proporsi jumlah tenaga penganggur lulusan pendidikan yang lebih tinggi ternyata lebih besar dibandingkan dengan proporsi penganggur dari lulusan yang lebih rendah (Ace Suryadi, 1993: 134). Dengan kata lain persentase jumlah penganggur tenaga sarjana lebih besar dibandingkan dengan persentase jumlah pengganggur lulusan SMA atau jenjang pendidikan yang lebih rendah.
Namun, kritik tersebut juga belum benar seluruhnya karena cara berfikir yang digunakan dalam memberikan tafsiran terhadap data empiris tersebut cenderung menyesatkan. Cara berfikir yang sekarang berlaku seolah-olah hanya memperhatikan pendidikan sebagai satu-satunya variabel yang menjelaskan masalah pengangguran. Cara berfikir seperti cukup berbahaya, bukan hanya berakibat pada penyudutan sistem pendidikan, tetapi juga cenderung menjadikan pengangguran sebagai masalah yang selamanya tidak dapat terpecahkan.
Berdasarkan keadaan tersebut, penjelasan secara konseptual terhadap masalah-masalah pengangguran tenaga terdidik yang dewasa ini banyak disoroti oleh masyarakat, sangat diperlukan. Penjelasan yang bersifat konseptual diharapkan mampu mendudukkan permasalahan pada proporsi yang sebenarnya, khususnya tentang fungsi dan kedudukan sistem pendidikan dalam kaitannya dengan masalah ketenagakerjaan.
Berangkat dari asumsi bahwa bertambahnya tingkat pengangguran disebabkan karena kegagalan sistem pendidikan, maka diperlukan adanya pendekatan-pendektan tertentu dalam pendidikan dan konsep Link and Match perlu dihidupkan kembali dalam sistem pendidikan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka ada beberapa pertanyaan terkait konsep link and macth dalam pendidikan, yaitu:
1. Bagaimana konsep dasar Link and Match dalam pendidikan?
2. Mengapa Link and Match itu diperlukan dalam pendidikan?
3. Pendekatan-pendekatan apa saja yang digunakan untuk mewujudkan Link and Match dalam pendidikan?
4. Bagaimana hubungan antara pendidikan dan ketenagakerjaan?
C. Tujuan Penulisan
Berangkat dari rumusan masalah tersebut, maka tujuan penulisan ini adalah untuk:
1. Mengetahui konsep dasar Link and Match dalam pendidikan
2. Mengetahui perlunya Link and Match dalam pendidikan
3. Mengetahui Pendekatan-pendekatan apa saja yang digunakan untuk mewujudkan Link and Match dalam pendidikan
4. Mengetahi hubungan pendidikan dan ketenagakerjaan

II. Pembahasan
A. Konsep Link and Match
Pada mulanya, sebelum ada pendidikan melalui sekolah seperti sekarang, pendidikan dijalnkan secara spontan dan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak petani langsung mempelajri pertanian dengan langsung bekerja di sawah, anak-anak nelayan langsung mempelajari kelautan dan perikanan langsung mengikuti orang dewasa menangkap ikan. Selagi mempelajari pekerjaan yang dilakukan, mereka sekaligus juga belajar tentang nilai-nilai dan norma-norma yang berhubungan dengan pekerjaannya. Dilihat secara demikian, maka pendidikan pada dasarnya merupakan sesuatu yang kongkret, spontan, dan tidak direncanakan tetapi langsung berhubungan dengan keperluan hidup. Dengan kata lain, dalam situasi yang belum mengenal sistem sekolah, sifat pendidikan pada dasarnya sesalu bersifat linked and matched.
Konsep keterkaitan dan kesepadanan (Link and Match) antara dunia pendidikan dan dunia kerja yang dicetuskan mantan Mendiknas Prof. Dr. Wardiman perlu dihidupkan lagi. Konsep itu bisa menekan jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi yang dari ke hari makin bertambah.
Selanjutnya Soemarso, Ketua Dewan Pembina Politeknik dan juga dosen UI mengatakan bahwa konsep Link and Match antara lembaga pendidikan dan dunia kerja dianggap ideal. Jadi, ada keterkaitan antara pemasok tenaga kerja dengan penggunanya. Menurut Soemarso, dengan adanya hubungan timbal balik membuat perguruan tinggi dapat menyusun kurikulum sesuai dengan kebutuhan kerja. Contoh nyata Link and Match dengan program magang. Perbaikan magang, dimaksudkan agar industri juga mendapatkan manfaat. Selama ini ada kesan yang mendapatkan manfaat dari magang adalah perguruan tinggi dan mahasiswa, sedangkan industri kebagian repotnya.
Di sisi lain, produk dari Perguruan Tinggi menghasilkan sesuatu yang amat berharga dan bukan hanya sekedar kertas tanpa makna, yaitu produk kepakaran, produk pemikiran dan kerja laboratorium. Produk-produk ini masih sangat jarang dilirik oleh industri di Indonesia. Produk kepakaran yang sering dipakai adalah yang bersifat konsultatif. Tetapi produk hasil laboratorium belum di akomodasi dengan baik.
Menjalankan Link and Match bukanlah hal yang sederhana. Karena itu, idealnya, ada tiga komponen yang harus bergerak simultan untuk menyukseskan program Link and Match yaitu perguruan tinggi, dunia kerja (perusahaan) dan pemerintah. Dari ketiga komponen tersebut, peran perguruan tinggi merupakan keharusan dan syarat terpenting. Kreativitas dan kecerdasan pengelola perguruan tinggi menjadi faktor penentu bagi sukses tidaknya program tersebut.
Ada beberapa langkah penting yang harus dilakukan suatu perguruan tinggi untuk menyukseskan program Link and Match. Perguruan tinggi harus mau melakukan riset ke dunia kerja. Tujuannya adalah untuk mengetahui kompentensi (keahlian) apa yang paling dibutuhkan dunia kerja dan kompetensi apa yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja. Berdasarkan penelitian yang dilakukan salah satu perguruan tinggi di Indonesia diketahui, keahlian (kompentensi) yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja adalah kemampuan komputasi (komputer), berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan kemampuan akuntansi. Selain itu, perguruan tinggi juga harus mampu memprediksi dan mengantisipasi keahlian (kompetensi) apa yang diperlukan dunia kerja dan teknologi sepuluh tahun ke depan.
Seharusnya perguruan tinggi mulai menjadikan kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja sebagai materi kuliah di kampusnya. Dengan demikian, diharapkan, lulusan perguruan tinggi sudah mengetahui, minimal secara teori, tentang kompetensi apa yang dibutuhkan setelah mereka lulus. Meskipun demikian, perguruan tinggi tidak harus menyesuaikan seluruh materi kuliahnya dengan kebutuhan dunia kerja. Sebab, harus ada materi kuliah yang berguna bagi mahasiswa yang termotivasi untuk melanjutkan studi ke jenjang strata yang lebih tinggi d.
Langkah penting lainnya, perguruan tinggi harus menjalin relasi dan menciptakan link dengan banyak perusahaan agar bersedia menjadi arena belajar kerja (magang) bagi mahasiswa yang akan lulus. Dengan magang langsung (on the spot) ke dunia kerja seperti itu, lulusan tidak hanya siap secara teori tetapi juga siap secara praktik.
Jika program Link and Match berjalan baik, pemerintah juga diuntungkan dengan berkurangnya beban pengangguran (terdidik). Karena itu, seyogianya pemerintah secara serius menjaga iklim keterkaitan dan mekanisme implementasi ilmu dari perguruan tinggi ke dunia kerja sehingga diharapkan program Link and Match ini berjalan semakin baik dan semakin mampu membawa manfaat bagi semua pihak.
Manfaat yang dapat dipetik dari pelaksanaan Link and Match sangat besar. Karena itu, diharapkan semua stake holders dunia pendidikan bersedia membuka mata dan diri dan mulai bersungguh-sungguh menjalankannya. Perguruan tinggi harus lapang dada menerima bidang keahlian (kompentensi) yang dibutuhkan dunia kerja sebagai materi kuliah utama. Perusahaan juga harus membuka pintu selebar-lebarnya bagi mahasiswa perguruan tinggi yang ingin magang (bekerja) di perusahaan tersebut. Sedangkan Pemerintah harus serius dan tidak semata memandang program Link and Match (keterkaitan dan kesepadanan) sebagai proyek belaka.
Secara tradisional teori kependidikan menekankan tiga tujuan instruksional pokok: kognitif, afektif dan psikomotorik. Banyak orang berpendapat bahwa sisi afektif dari pendidikan adalah yang paling penting. Seperti ditekankan oleh Paola friere, suatu konsep pendidikan, dimana otak manusia hanya seperti rekening bank tidak berlaku atau sesuai lagi. Tujuan yang lebih berkaitan dengan proses menyadarkan orang bahwa kemampuan berfikir dan menentukan identitas diri sekarang ini jauh lebih penting. Pendidikan dan pembelajaran adalah proses bukan produk akhir. Ivan Illich pernah mengatakan bahwa kita tidak boleh mengijinkan pendidikan formal mengganggu proses belajar terus menerus. Tidak selayaknya orang berhenti dari proses belajar sesudah pendidikan formal selesai (Sindhunata, 2000: 130).

B. Pendekatan dalam Mewujudkan Link and Match
1. Pendekatan Sosial
Pendekatan sosial merupakan pendekatan yang didasarkan atas keperluan masyarakat pada saat ini. Pendekatan ini menitik beratkan pada tujuan pendidikan dan pada pemerataan kesempatan dalam mendapatkan pendidikan (Husaini Usman, 2006: 56). Menurut A.W. Gurugen pendekatan sosial merupakan pendekatan tradisional bagi pembangunan pendidikan dengan menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi tekanan tekanan untuk memasukan sekolah serta memungkinkan pemberian kesempatan kepada murit dan orang tua secara bebas (Djumberansyah Indar, 1995: 30). Sebagai contoh penerapan pendekatan ini adalah diterapkannya sistem ganda melalui kebijakan Link and Match.
Menurut Bohar Soeharto perencanaan sosial adalah proses cara menjelaskan dan memecahkan masalah yang berhubungan dengan masyarakat atau berhubungan dengan aspek sosial dari kehidupan individu untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien (Bohar Soeharto, 1991: 28).
Pendekatan yang dikemukakan Geruge ini bersifat tradisional dimana penekanan ini didasarkan kepada tujuan untuk memenuhi tuntutan atau permintaan seluruh individu terhadap pendidikan pada tempat dan waktu tertentu dalam situasi perekonomian, politik, dan kebudayaan yang ada pada waktu itu. Ini berarti bahwa sektor pendidikan harus menyediakan lembaga-lembaga pendidikan serta fasilitas untuk menampuk seluuruh kelompok umur yang ingin menerima pendidikan.
Pendekatan sosial dalam perencanaan pendidikan sebagaimana dimaksud diatas, pernah dituang secara tepat dalam Robbins Comunitte on Higher Education di Inggris pada tahun 1963 dengan alasan pemilihan pendektan ini bahwa: ”all young person qualified by ability and attaint ment to pursue a full time course in higher education should have the opportunity to do so” (Bohar Soeharto, 1991: 28).
Selanjutnya dalam pendekatan ini ada beberapa kelemahan dalam pendekatan ini diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan ini mengabaiakan masalah alokasi dalam skala nasional, dan secara samar tidak mempermasalahkan besarnya sumber daya pendidikan yang dibutuhkan arena beranggapan bahwa penggunaan sumberdaya pendidikan yang terbaik adalah untuk segenap rakyat Indonesia.
2. Pendekatan ini mengabaiakn kebutuhan ketenagakerjaan (man power planning) yang diperlukan dimasyarakat sehingga dapat menghasilkan lulusan yang sebenarnya kurang dibutuhkan masyarakat.
3. Pendekatan ini cenderung hanya menjawab pemerataan pendidikan saja sehingga kuantitas lebih diutamakan dari pada kualitanya (Syaefudin Sa’ud, 2006: 236).

2. Pendekatan Ketenagakerjaan
Pendekatan yang dipakai dalam penyusunan perencanaan pendidikan suatu negara sangat tergantung kepada kebijakan pemerintah yang sedang dilaksanakan. Karenanya wajar jikalau timbul pendekatan yang berbeda-beda antara beberapa negara dan juga terjadi perbedaan dalam pendekatan perencanaan antara berbagai periode pembangunan dalam satu negara. Dalam kebijakan pemerintah (sebut saja kebijakan lima tahunan), disana tergambar secara jelas harapan-harapan yang akan dan harus dipenuhi oleh sektor pendidikan. Dengan kata lain kebutuhan akan pendidikan yang akan menjadi sasaran dalam perencanaan selalu dijadikan penuntun atau bisa dikatakan sebagai kebijakan awal perencanaan.
Di dalam pendekatan ketenagakerjaan ini kegiatan-kegitan pendidikan diarahkan kepada usaha untuk memenuhi kebutuhan nasional akan tenaga kerja pada tahap permulaan pembangunan tentu saja memerlukan banyak tenaga kerja dari segala tingkatan dan dalam berbagai jenis keahlian.
Dalam keadaan ini kebanyakan negara mengharapkan supaya pendidikan mempersiapkan dan menghasilkan tenaga kerja yang terampil untuk pembangunan, baik dalam sektor pertanian, perdagangan, industri dan sebagainya (Jusuf Enoch, 1992: 90). Untuk itu perencana pendidikan harus mencoba membuat perkiraan jumlah dan kualitas tenaga kerja dibutuhkan oleh setiap kegiatan pembangunan nasional.
Dalam hal ini perencana pendidikan dapat menyakinkan bahwa penyediaan fasilitas dan pengarahan arus murid benar-benar didasarkan atas perkiraan kebutuhan tenaga kerja tadi. Akan tetapi metode-metode untuk memperkirakan kebutuhan tenaga kerja perlu ditetapkan terlebih dahulu sesuai dengan kepentingan dan kondisi negara yang bersangkutan. Salah satu metode misalnya bukan hanya sekedar memperhatikan kebutuhan saja tetapi perlu meneliti berbagai jenis tenaga yang telatih yang diperlukan oleh negara atas dasar perbandingan atau ratio yang seimbang, misalnya perbandingan antara insiyur dan teknisi ahli.
Pendidikan ketenagakerjaan ini sering dipergunakan oleh negara-negara yang sudah berkembang ataupun negara yang teknologinya sudah maju, dimana setiap waktu diperlukan jenis keahlian yang baru. Ahli teknologi modern dengan menciptakan teori dan sistem yang baru dengan sendirinya mendorong teknologi untuk berkembang secara pesat dan hal ini menyebabkan pula timbulnya kebutuhan akan tenaga ahli dari jenis yang baru untuk menangani atau mengelolanya.
Negara-negara yang mempergunakan pendekatan ketenagakerjaan mengarahkan kegiatan-kegiatan pendidikannya secara teratur kepada usaha untuk memenuhi tuntutan dunia lapangan kerja dalam segala bidang. Para ahli ekonomi mengharapkan agar ada keseimbangan antara penambahan lapangan kerja dengan peningkatan pendapatan nasionl. Penambahan lapangan kerja akan meningkatkan pendapatan nasional, pendapatan nasional yang telah ditingkatkan akan memberi peluang untuk memperluas lapangan kerja. Ini berarti penyerapan tenaga kerja akan lebih banyak.
Perencana pendidikan diminta untuk merencanakan kegiatan/usaha pendidikan sedemikian rupa sehingga menjamin setiap individu, tentunya seorang lulusan lembaga pendidikan dapat terjun ke masyarakat dengan suatu kemampuan untuk menjadi seorang pekerja yang produktif. Dengan kata lain sistem pendidikannya harus menghasilkan lulusan dari berbagai tingkat dan jenis yang siap pakai.
Dalam pendekatan keperluan akan tenaga kerja (manpower approach), jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dihitung dari jumlah pendapatan nasional yang direncanakan atau yang diperhitungkan akan dicapai. Dengan kata lain, anak didik melalui sistem pendidikan harus disiapkan menjadi tenaga kerja, dan perencanaan mengenai keperluan akan tenaga kerja harus diintegrasikan secara menyeluruh ke dalam perencanaan ekonomi. Jadi, dal;am merencanakan keprluan tenaga kerja, perkembangan ekonomi dimasa depan dianggap sebagai variabel yang independen karena dianggap sebagai tujuan atau target yang ditetapkan secara tersendiri.
Menurut pendekatan ini, perhitungan kebutuhan tenaga kerja dan perencanaan pendidikan yang ditujukan kearah pembetukan tenaga kerja dianggap sebagai prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang secara struktural seimbang dan sebagi prasyarat bagi sistem pendidikan yang fungsional. Kebutuhan akan tenaga kerja semat-mata dari pertumbuhan ekonomi di masa depan dianggap relevan bagi alokasi tenaga kerja yang efisien dan bagi penggunaan secara optimal sumber-sumber yang tersedia pada sistem pendidikan.
Cara pendekatan persoalan pendidikan seperti ini dapatt dikatkan sebagai pendekatan ekonomi uni-dimensional atau pendekatan pendidikan yang ditujuakan kepada pasaran kerja, dimana pembiayaan-pembiayaan pendidikan diperlakukan sebagai pengeluaran konsumsi dan bukan sebagai pengeluaran investasi (Sindhunata, 2001: 17).
Dalam teorinya pendekatan ini lebih mengutamakan keterkaitan lulusan sistem pendidikan dengan tuntutan akan kebutuhan tenaga kerja, didalam pendekatan ini juga mempunyai kelemahan, dimana ada tiga kelemahan yang paling utama, yaitu;
1. Mempunyai peranan yang terbatas dalam perencanaan pendidikan, karena pendekatan ini mengabaikan keberadaaan sekolah umum karena hanya akan menghasilkan pengangguran saja, pendekatan ini lebih mengutamakan sekolah menengah kejuruan untuk memenuhi kebutuhan kerja.
2. Menggunakan klasifikasi rasio permintaan dan persediaan
3. Tujuan dari pada pendekatan ini hanyalah untuk memenuhan kebutuhan tenaga kerja, disisi lain tuntutan dunia kerja berubah ubah sesuai dengan cepatnya perubahan zaman (Husaini Usman, 2006: 59).
Blaug dan Faure menyimpulkan bahwa masalah pengangguran dikalangan terdidik dapat ditekan dengan memperbaiki sistem dan perencanaan pendidikan yang baik. Perlu kita cermati sebenarnya peningkatan pengangguran bukan semata-mata kesalahan dunia pendidikan, peningkatan pengangguran di karenakan sempitnya lapangan kerja, sempitnya lapangan kerja disebabkan pemerintah yang kurang bisa membuka lapangan kerja yang baru.
Perbaikan sistem dan perencanaan pendidikan bukan berarti pendidikan harus melahirkan atau meluluskan lulusan yang siap pakai. Kalau yang dimaksud dengan siap pakai ialah kemampuan lulusan yang mengenali dan menguasai permasalahan rutin serta mampu mengaplikasikan ilmunya; maka bukan pada tempatnya hal itu di belajarkan pada pendidikan formal yang ada sekarang ini.
Perencanaan pendidikan di Indonesia selain menggunkan pendekatan sosial juga menggunakan pendekatan ketenagakerjaan. Disadarai dengan benar bahwa tanpa tenaga pembangunan yang ahli, terampil dan sesuai dengan lapangan kerja tidak mungkin pembangunan nasional dapat berjalan dengan lancar. Namun dalam kenyataannya masih banyak hambatan-hambatan dalam usaha menyusun perencanaan pendidikan dengan menggunakan pendekatan ketenagakerjaan ini, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia.
Beberapa hambatan pokok antara lain sebagai berikut:16
a. Belum tersedianya data dan informasi yang memadai untuk dapat menjawab pertanyaan sehubungan dengan berapa banyak lapangan kerja yang ada menurut jenisnya; berapa jumlah tenaga kerja menurut pendidikannya yang dapat diserap; bagaimana pengembangan usaha/lapangan kerja ini di masa mendatang dan bagaimana proyeksi tenaga kerja yang akan dibutuhkan; dan sebagainya.
b. Perencanaan pendidikan, bila ingin menggunakan pendekatan ketenagakerjaan sangat memerlukan data dan proyeksi kebutuhan tenaga kerja di masa mendatang. Selain perkiraan akan kebutuhan tenaga kerja, juga masih diperlukan persyaratan yang jelas mengenai mutu tenaga yang dituntut oleh pasaran tenaga kerja atau kualifikasi lulusan lembaga pendidikan yang menjadi persyaratan untuk masing-masingjenis pekerjaaan.
c. Walaupun sekiranya data dan informasi mengenai ketenagakerjaan tersedia secara memadai, namun hambatan itu akan tetap masih ada terutama dalam hal pengadaan tenaga kerja itu sendiri melalui pendidikan formal. Penyebab utama ialah ketidakmampuan sistem pendidikan nasional untuk mengadakan penyesuaian dengan berbagai ragam kebutuhan akan keahlian dan kemampuan lulusannya (Jusuf Enoch, 1992: 93-95).
Pemerintah tidak mungkin secara cepat mempersiapkan berbagai kelembagaan pendidikan untuk mempersipakan lulusan yang siap pakai memasuki lapangan kerja yang sudah menunggu. Hal ini bukan disebabkan biaya yang tidak mendukung, tapi lebih dari itu pengadaan tenaga instruktur yang berkualifikasi baik, pengadaan lat dan ryang praktek yang memenuhi tuntutan lapangan kerja serta fasilitas lainnya sungguh memerlukan waktu untuk mewujudkannya. Disamping itu, kurikulum harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Putu Pendit bahwa "kurikulum harus memenuhi kebutuhan lapangan". Kurikulum, sebagai bagian dari pendidikan, bukan semata-mata memenuhi permintaan tenaga kerja di saat ini. Kurikulum sebagai alat dari pendidikan harus mengandung di dalamnya upaya menyiapkan peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan yang berlaku jauh lebih lama daripada perkembangan terakhir atau peristiwa sesaat.
C. Pendidikan dan Ketenagakerjaan
Apakah pendidikan formal merupakan penentu dalam menunjang pertumbuhan ekonomi?. Apakah pengembangan sumber daya manusia selalu dilakukan melalui pendidikan formal?. Titik singgung antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi adalah produktivitas kerja, dengan asumsi bahwa semakin tinggi mutu pendidikan, semakin tinggi produktivitas kerja, semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat. Anggapan ini mengacu pada teori Human Capital. Teori Human Capital menerangkan bahwa pendidikan memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi karena pendidikan berperan di dalam meningkatkan produktivitas kerja.
Teori ini merasa yakin bahwa pertumbuhan suatu masyarakat harus dimulai dari prodiktivitas individu. Jika setiap individu memiliki penghasilan yang tinggi karena pendidikannya juga tinggi, pertumbuhan msyarakat dapat ditunjang karenanya. Teori Human Capital ini menganggap bahwa pendidikan formal sebagai suatu investasi, baik bagi individu maupun bagi masyarakat. Dari teori ini timbul beberapa model untuk mengukur keberhasilan pendidikan bagi pertumbuhan ekonomi, misalnya dengan menggunakan teknik cost benefit analysis, model pendidikan tenaga kerja dan lain sebagainya.
Namun dalam kenyataannya, asumsi-asumsi yang digunakan oleh teori Human Capital tidak selalu benar. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Cummings bahwa di Indonesia ternyata menunjukkan kecenderungan yang tidak berbeda antara negara maju dan negara berkembang, yaitu bahwa pendidikan formal hanya memberikan kontribusi kecil terhadap status pekerjaan dan penghasilan lulusan pendidikan formal dibandingkan dengan faktor-faktor luar sekolah.
Teori Human Capital dianggap tidak berhasil, maka muncullah teori baru sebagai koreksi terhadap teori sebelumya, yaitu teori kredensialisme. Teori ini mengungkapkan bahwa strukrur masyarakat lebih ampuh dari pada individu dalam mendorong suatu pertumbuhan dan perkembangan. Pendidikan formal hanya dianggap sebagai alat untuk mempertahankan status quo dari para pemenang status sosial yang lebih tinggi.Menurut teori ini perolehan pendidikan formal tidak lebih dari suatu lambang status (misalnya melalui perolehan ”ijazah” bukan karena produktivitas) yang mempengaruhi tingginya penghasilan.
Dua teori yang dikemukan diatas, masing-masing memiliki kaitan erat dengan fungsi sistem pendidikan yang diungkap oleh Sayuti Hasibuan. Menurutnya, fungsi sistem pendidikan dalam kaitannya dengan ketenagakerjaan meliputi dua dimensi penting, yaitu: 1). Dimensi kuantitatif yang meliputi fungsi sistem pendidikan dalam pemasok tenaga kerja terdidik dan terampil sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja yang tersedia, 2). Dimensi kualitatif yang menyangkut fungsinya sebagai penghasil tenaga terdidik dan terlatih yang akan menjadi sumber penggerak pembangunan atau sebagai driving force (Sayuti Hasibuan, 1987).
Sistem pendidikan sebagai suatu sistem pemasok tenaga kerja terdidik lebih banyak diilhami oleh teori Human Capital. Sistem pendidikan memiliki arti penting dalam menjawab tuntutan lapangan kerja yang membutuhkan tenaga kerja terampil dalam berbagai jenis pekerjaan. Penyediaan tenaga kerja terdidik tidak hanya harus memenuhi kebutuhan akan suatu jumlah yang dibutuhkan. Akan tetapi, yang lebih penting ialah jenis-jenis keahlian dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan dunia industri. Teori Human Capital percaya bahwa pendidikan memiliki anggapan lapangan kerja yang membutuhkan kecakapan dan keterampilan tersebut juga sudah tersedia.
Fungsi pendidikan sebagai penghasil tenaga penggerak pembangunan (driving force) cenderung lebih sesuai dengan teori Kredensialisme. Sistem pendidikan harus mampu membuka cakrawala yang lebih luas bagi tenaga yang dihasilkan, khususnya dalam membuka lapangan kerja baru. Pendidikan harus dapat menghasilkan tenaga yang mampu mengembangkan potensi masyarakat dalam menghasilkan barang dan jasa termasuk cara-cara memasarkannya. Kemampuan ini amat penting dalam rangka memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha. Dengan demikian, lulusan sistem pendidikan tidak bergantung hanya kepada lapangan kerja yang telah ada yang pada dasarnya sangat terbatas, akan tetapi mengembangkan kesempatan kerja yang masih potensial.
Teori Kredensialisme merasa yakin bahwa pelatihan kerja merupakan media yang strategis dalam menjembatani antara pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja. Jika ada masalah ketidaksesuaian, hal ini dianggap sebagai ”gejala persediaan” (supply phenomina), yaitu ketidaksesuaian antara pendidikan dan lapangan kerja yang diungkapkan sebagai gejala ketidakmampuan sistem pendidikan dalam menghasilkan lulusan yang mudah dilatih atau yang dapat membelajarkan diri agar menjadi tenaga terampil sesuai dengan kebutuhan pasar.
Ketidaksesuain tersebut mungkin juga dapat dianggap sebagi gejala prmintaan (demand phenomina), yaitu ketidaksesuaian tersebut tidak semata-mata disebabkan oleh sistem pendidikan itu sendiri, tetapi lapangan kerja juga belum memfungsikan sistem pelatihan kerja secara optimal. Jika ketidaksesiaian anatra keterampilan kerja dengan kebutuhan dunia industri dianggap sebagai demand phenomina, sitem pelatihan kerja juga harus merupakan bagian yang integral di dalam industri atau perusahaan. Dalam hubungan dengan hal tersebut, dunia industri akan berfungsi sebagai training ground. Jika industri atau perusahaan sudah berfungsi sebagai training ground, produktivitas tenaga kerja secara langsung merupakan kontrolnya. Pelatihan dalam industri atau perusahaan ialah tempat yang paling tepat untuk dapat menghasilakn tenaga kerja yang siap pakai (ready trained), sementara sistem pendidikan formal secara maksimal harus mampu menghasilkan tenaga potensial atau yang memiliki kecakapan dasar yang dapat dikembangkan lebih jauh di dunia kerja.
Sekat-sekat yang ada antara pendidikan, pelatihan dan tenaga kerja seperti yang kita alami dewasa ini, setidak-tidaknya secara konseptual tidak terjadi dalam masyarakat industri modern. Diperlukan program yang terintegrasi antara dunia pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan oleh dunia industri (Tilaar, 1999: 178). Program-program pelatihan tidak hanya dilaksanakan di dalam industri, tetapi sistem pendidikan sekolah dan luar sekolah harus menyelenggarakan program pelatihan yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja.
Dalam kaitan ini perlu ada refungsionalisasi SISDIKNAS yang membuka diri terhadap keterlibatan penuh dari masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Dengan sistem yang seperti itu, bukan berarti akan menghilangkan pengangguran, tentu saja masalah pengangguran akan selalu ada karena berbagai sebab ekonomis ataupun non-ekonomis namun masalah pengangguran setidaknya dapat diminimalisir.
Fungsi pendidikan sebagai pemasok tenaga kerja terdidik dan terlatih dapat diuji berdasarkan kemampuannya dalam memenuhi jumlah angkatan kerja yang dibutuhkan oleh lapangan kerja yang telah ada atau yang diperkirakan tersedia dalam suatu sitem ekonomi. Untuk menguji kemampuan ini diperlukan perbandingan antara persediaan angkatan kerja yang dihasilkan oleh sistem pendidikan dan latihan dengan kebutuhan tenaga kerja dalam lapangan kerja yanga ada menurut kategori tingkat pendidikan pekerja.
Terjadinya kelebihan persediaan tenaga kerja berpendidikan dasar ini disebabkan oleh masih banyak tersedianya lapangan kerja pada sektor tradisional dan sektor informal pada saat truktur tenaga kerja telah mulai bergeser ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Keadaan ini didukung pila oleh kenyataan bahwa kelebihan persediaan tenaga kerja terjadi pada tingkat-tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan yang menjadi akibatnya pengangguran tenaga terdidik atau lulusan Perguruan Tinggi akan terus bertambah setiap tahun.
Salah satu sebab kesenjangan supply dan demand pendidikan tinggi ialah kesenjangan antara keinginan mahasiswa (dan dorongan orang tua serta persepsi masyarakat) dengan kebutuhan akan tenaga kerja. Mahasiswa lebih menyenangi program studi profesional seperti ahli hukum dan ekonomi dibanding dengan program teknologi maupun pertanian. Gejala ini terjadi juga di negara industri maju dan sangat kuat di negara berkembang. Sebaliknya kebutuhan akan tenaga kerja yang banyak ialah di bidang industri dan pertanian.
Angka partisipasi dan bertambahnya lulusan Perguruan Tinggi belum dengan sendirinya meningkatkan produktivitas kerja karena adanya pengangguran sarjana yang semakin meningkat. Data pendidikan nasional kita menunjukkan kecenderungan sebagai berikut: 1). Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin besar kemungkinan terjadinya pengangguran; 2). Pada tingkat pendidikan SLTP kebawah cenderung terdapat kekurangan tenaga kerja terdidik; 3). Tamatan SLTA cenderung untuk menganggur dan jumlahnya semakin besar; 40. surplus lulusan Perguruan Tinggi cenderung berlipat ganda dari tahun ke tahun.
Gambaran mengenai kesenjangan supply dan demand lulusan pendidikan tinggi kita buka terletak pada angka absolutnya, karena sebenarnya kita masih kekurangan tenaga lulusan Perguruan Tinggi. Kekurangan ini masih dipersulit lagi dengan adanya ”mis-match” jenis keahlian yang diproduksi oleh pendidikan tinggi kita.
Menurut Darlaini Nasution SE ada tiga faktor mendasar yang menjadi penyebab masih tingginya tingkat pengangguran di Indonesia. Ketiga faktor tersebut adalah, ketidaksesuaian antara hasil yang dicapai antara pendidikan dengan lapangan kerja, ketidakseimbangan demand (permintaan) dan supply (penawaran) dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dihasilkan masih rendah. Ia menjelaskan, lapangan pekerjaan yang membutuhkan tenaga kerja umumnya tidak sesuai dengan tingkat pendidikan atau ketrampilan yang dimiliki.
Umumnya perusahaan atau penyedia lapangan kerja membutuhkan tenaga yang siap pakai, artinya sesuai dengan pendidikan dan ketrampilannya, namun dalam kenyataan tidak banyak tenaga kerja yang siap pakai tersebut. Justru yang banyak adalah tenaga kerja yang tidak sesuai dengan job yang disediakan.
Kalau kita flasback pada tahun-tahun yang lalu, Berdasarkan data dari Departemen Tenaga Kerja pada tahun 1997 jumlah pengangguran terbuka sudah mencapai sekitar 10% dari sekitar 90 juta angkatan kerja yang ada di Indonesia, dan jumlah inipun belum mencakup pengangguran terselubung. Jika persentase pengangguran total dengan melibatkan jumlah pengangguran terselubung dan terbuka hendak dilihat angkanya, maka angkanya sudah mencapai 40% dari 90 juta angkatan kerja yang berarti jumlah penganggur mencapai sekitar 36 juta orang. Adapun pengangguran terselubung adalah orang-orang yang menganggur karena bekerja di bawah kapasitas optimalnya. Para penganggur terselubung ini adalah orang-orang yang bekerja di bawah 35 jam dalam satu minggunya. Jika kita berasumsi bahwa krisis ekonomi hingga saat ini belum juga bisa terselesaikan maka angka-angka tadi dipastikan akan lebih melonjak.
Ledakan pengangguranpun berlanjut di tahun 1998, di mana sekitar 1,4 juta pengangguran terbuka baru akan terjadi. Dengan perekonomian yang hanya tumbuh sekitar 3,5 sampai 4%, maka tenaga kerja yang bisa diserap hanya sekitar 1,3 juta orang. Sisanya menjadi tambahan pengangguran terbuka tadi. Total pengangguran jadinya akan melampauai 10 juta orang. Berdasarkan pengalaman, jika kita mengacu pada data-data tahun 1996 maka pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5 sampai 4% belumlah memadai. Berdasarkan data sepanjang di tahun 1996, perekonomian hanya mampu menyerap 85,7 juta orang dari jumlah angkatan kerja 90,1 juta orang. Tahun 1996 perekonomian mampu menyerap jumlah tenaga kerja dalam jumlah relatif besar karena ekonomi nasional tumbuh hingga 7,98 persen. Tahun 1997 dan 1998, pertumbuhan ekonomi dapat dipastikan tidak secerah tahun 1996, karena pada tahun 2007 adalah awal mula terjadinya krisis moneter.
ketika menginjak tahun 2000, jumlah pengangguran di tahun 2000
ini sudah menurun dibanding tahun 1999. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2000 yang meningkat menjadi 4,8 persen. Pengangguran tahun 1999 yang semula 6,01 juga turun menjadi 5,87 juta orang. Sedang setengah pengangguran atau pengangguran terselubung juga menurun dari 31,7 juta menjadi 30,1 juta orang pada tahun 2000. Jumlah pengangguran saat ini mencapat sekitar 35,97 juta orang, namun pemerintah masih memfokuskan penanggulangan pengangguran ini pada 16,48 juta orang. Jumlah pengangguran pada tahun 2001 mencapai 35,97 juta orang yang diperkirakan bisa bertambah bila pemulihan ekonomi tidak segera berjalan dengan baik.
Dan kini, pada tahun 2008 ini jumlah pengangguran di Indonesia ditargetkan turun menjadi 8,9 persen dibanding 2007 yang masih 9,7 persen. Untuk mengurangi jumlah pengangguran maupun kemiskinan, pemerintah perlu melakukan berbagai langkah strategis seperti pemberdayaan masyarakat. Untuk mendukung pemberdayaan itu, pemerintah harus memfasilitasi dan menciptakan iklim yang kondusif. Namun, banyak tantangan yang dihadapi pemerintah dalam mengupayakan langkah tersebut, terutama karena keterbatasan dana.
Pengangguran intelektual di Indonesia cenderung terus meningkat dan semakin mendekati titik yang mengkhawatirkan. Pada tahun 2003 jumlah pengangguran intelektual diperkirakan mencapai 24,5 persen. Pengangguran intelektual ini tidak terlepas dari persoalan dunia pendidikan yang tidak mampu menghasilkan tenaga kerja berkualitas sesuai tuntutan pasar kerja sehingga seringkali tenaga kerja terdidik kita kalah bersaing dengan tenaga kerja asing. Fenomena inilah yang sedang dihadapi oleh bangsa kita di mana para tenaga kerja yang terdidik banyak yang menganggur walaupun mereka sebenarnya menyandang gelar.
Salah satu faktor yang mengakibatkan tingginya angka pengangguran di negara kita adalah terlampau banyak tenaga kerja yang diarahkan ke sektor formal sehingga ketika mereka kehilangan pekerjaan di sektor formal, mereka
kelabakan dan tidak bisa berusaha untuk menciptakan pekerjaan sendiri di
sektor informal. Justru orang-orang yang kurang berpendidikan bisa melakukan inovasi menciptakan kerja, entah sebagai joki yang menumpang di mobil atau joki payung kalau hujan.
Meski ada kecenderungan pengangguran terdidik semakin meningkat namun upaya perluasan kesempatan pendidikan dari pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi tidak boleh berhenti. Akan tetapi pemerataan pendidikan itu harus dilakukan tanpa mengabaikan mutu pendidikan itu sendiri. Karena itu maka salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita adalah sulitnya memberikan pendidikan yang benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam berkarier atau bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada segi teori dan bukannya praktek. Pendidikan seringkali disampaikan dalam bentuk yang monoton sehingga membuat para siswa menjadi bosan. Di negara-negara maju, pendidikkan dalam wujud praktek lebih diberikan dalam porsi yang lebih besar. Di negara kita, saat ini ada kecenderungan bahwa para siswa hanya mempunyai kebiasaan menghafal saja untuk pelajaran-pelajaran yang menyangkut ilmu sosial, bahasa, dan sejarah atau menerima saja berbagai teori namun sayangnya para siswa tidak memiliki kemampuan untuk menggali wawasan pandangan yang lebih luas serta cerdas dalam memahami dan mengkaji suatu masalah. Sedangkan untuk ilmu pengetahuan alam para siswa cenderung hanya diberikan latihan soal-soal yang cenderung hanya melatih kecepatan dalam berpikir untuk menemukan jawaban dan bukannya mempertajam penalaran atau melatih kreativitas dalam berpikir.
Contohnya seperti seseorang yang pandai dalam mengerjakan soal-soal matematika bukan karena kecerdikan dalam melakukan analisis terhadap soal atau kepandaian dalam membuat jalan perhitungan tetapi karena dia memang sudah hafal tipe soalnya. Kenyataan inilah yang menyebabkan sumber daya manusia kita ketinggalan jauh dengan sumber daya manusia yang ada di negara-negara maju. Kita hanya pandai dalam teori tetapi gagal dalam praktek dan dalam profesionalisme pekerjaan tersebut. Rendahnya kualitas tenaga kerja terdidik kita juga adalah karena kita terlampau melihat pada gelar tanpa secara serius membenahi kualitas dari kemampuan di bidang yang kita tekuni.
Sehingga karena hal inilah maka para tenaga kerja terdidik sulit bersaing
dengan tenaga kerja asing dalam usaha untuk mencari pekerjaan.
Salah satu penyebab pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi adalah karena kualitas pendidikan tinggi di Indonesia yang masih rendah. Akibatnya lulusan yang dihasilkanpun kualitasnya rendah sehingga tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Pengangguran terdidik dapat saja dipandang sebagai rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan. Namun bila dilihat lebih jauh, dari sisi permintaan tenaga kerja, pengangguran terdidik dapat dipandang sebagai ketidakmampuan ekonomi dan pasar kerja dalam menyerap tenaga terdidik yang muncul secara bersamaan dalam jumlah yang terus berakumulasi.
Sebagai solusi pengangguran, berbagai strategi dan kebijakan dapat ditempuh, misalnya setiap penganggur diupayakan memiliki pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan artinya produktif dan remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi semua masyarakat Indonesia. Lebih tegas lagi jadikan penanggulangan pengangguran menjadi komitmen nasional.
Untuk itu diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro (khusus). Kebijakan mikro (khusus) dapat dijabarkan dalam beberapa poin:27 Pertama, pengembangan mindset dan wawasan penganggur, berangkat dari kesadaran bahwa setiap manusia sesungguhnya memilki potensi dalam dirinya namun sering tidak menyadari dan mengembangkan secara optimal. Dengan demikian, diharapkan setiap pribadi sanggup mengaktualisasikan potensi terbaiknya dan dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik, bernilai dan berkualitas bagi dirinya sendiri maupun masyarakat luas.
Kepribadian yang matang, dinamis dan kreatif memiliki tujuan dan visi yang jauh ke depan, berani mengambil tantangan serta mempunyai mindset yang benar. Itu merupakan tuntutan utama dan mendasar di era globalisasi dan informasi yang sangat kompetitif dewasa ini dan di masa-masa mendatang. Perlu diyakini oleh setiap orang, kesuksesan yang hakiki berawal dari sikap mental kita untuk berani berpikir dan bertindak secara nyata, tulus, jujur matang, sepenuh hati, profesional dan bertanggung jawab. Kebijakan ini dapat diimplementasikan menjadi gerakan nasional melalui kerja sama dengan lembaga pelatihan yang kompeten untuk itu.
Kedua, melakukan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ini akan membuka lapangan kerja bagi para penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan.
Ketiga, segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur. Hal itu dapat dilakukan serentak dengan pendirian Badan Jaminan Sosial Nasional dengan embrio mengubah PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) menjadi Badan Jaminan Sosial Nasional yang terdiri dari berbagai devisi menurut sasarannya. Dengan membangun lembaga itu, setiap penganggur di Indonesia akan tercatat dengan baik dan mendapat perhatian khusus.
Keempat, menyederhanakan perizinan karena dewasa ini terlalu banyak jenis perizinan yang menghambat investasi baik Penanamaan Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan investasi masyarakat secara perorangan maupun berkelompok. Itu semua perlu segera dibahas dan disederhanakan sehingga merangsang pertumbuhan investasi untuk menciptakan lapangan kerja baru.
Kelima, mengaitkan secara erat (sinergi) masalah pengangguran dengan masalah di wilayah perkotaan lainnya, seperti sampah, pengendalian banjir, dan lingkungan yang tidak sehat. Sampah, misalnya, terdiri dari bahan organik yang dapat dijadikan kompos dan bahan non-organik yang dapat didaur ulang. Sampah sebagai bahan baku pupuk organik dapat diolah untuk menciptakan lapangan kerja dan pupuk organik itu dapat didistribusikan ke wilayah-wilayah tandus yang berdekatan untuk meningkatkan produksi lahan. Semuanya mempunyai nilai ekonomis tinggi dan akan menciptakan lapangan kerja.
Keenam, mengembangkan suatu lembaga antarkerja secara profesional. Lembaga itu dapat disebutkan sebagai job center dan dibangun dan dikembangkan secara profesional sehingga dapat membimbing dan menyalurkan para pencari kerja. Pengembangan lembaga itu mencakup, antara lain sumber daya manusianya (brainware), perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), manajemen dan keuangan. Lembaga itu dapat di bawah lembaga jaminan sosial penganggur atau bekerja sama tergantung kondisinya.
Ketujuh, menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Perlu seleksi lebih ketat terhadap pengiriman TKI ke luar negeri. Sebaiknya diupayakan tenaga-tenaga terampil (skilled). Hal itu dapat dilakukan dan diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.
Bagi pemerintah Daerah yang memiliki lahan cukup, gedung, perbankan, keuangan dan aset lainnya yang memadai dapat membangun Badan Usaha Milik Daerah Pengerahan Jasa Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri (BUMD-PJTKI). Tentunya badan itu diperlengkapi dengan lembaga pelatihan (Training Center) yang kompeten untuk jenis-jenis keterampilan tertentu yang sangat banyak peluang di negara lain. Di samping itu, perlu dibuat peraturan tersendiri tentang pengiriman TKI ke luar negeri seperti di Filipina.
Kedelapan, penyempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Sistem pendidikan dan kurikulum sangat menentukan kualitas pendidikan. Karena itu, Sisdiknas perlu reorientasi supaya dapat mencapai tujuan pendidikan secara optimal. Pengembangan sistem pendidikan nasional perlu direstrukturisasi. Perestroika sistem pendidikan tinggi meliputi berbagai aspek, antara lain keseimbangan program studi dan peningkatan mutu.
Kesembilan, upayakan untuk mencegah perselisihan hubungan industrial (PHI) dan pemutusan hubungan kerja (PHK). PHI dewasa ini sangat banyak berperan terhadap penutupan perusahaan, penurunan produktivitas, penurunan permintaan produksi industri tertentu dan seterusnya. Akibatnya, bukan hanya tidak mampu menciptakan lapangan kerja baru, justru sebaliknya bermuara pada PHK yang berarti menambah jumlah penganggur.
Kesepuluh, segera mengembangkan potensi kelautan kita. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mempunyai letak geografis yang strategis yang sebagian besar berupa lautan dan pulau-pulau yang sangat potensial sebagai negara maritim. Potensi kelautan Indonesia perlu dikelola lebih baik supaya dapat menciptakan lapangan kerja yang produktif dan remuneratif.

III. Kesimpulan
1. Konsep Link and Match (keterkaitan dan kesepadanan) merupakan konsep keterkaitan antara lembaga pendidikan denagn dunia kerja, atau denagn kata lain Link and Match ini adalah keterkaitan antara pemasok tenaga kerja dengan penggunanya. Dengan adanya keterkaitan ini maka pendidikan sebaagi pemasok tenaga kerja dapat mengadakan hubunga-hubungan dengan dunia usaha/industri.
2. Dengan link dan match ini suatu lembaga khususnya Perguruan Tinggi bisa mengadakan kerja sama dengan pihak lain khususnya dengan perusahaan atau industri agar mahasiswa bisa magang di perusahaan tersebut. Perguruan tinggi harus mau melakukan riset ke dunia kerja. Denagn adanya Link and Match tersebut Perguruan Tinggi dapat mengetahui kompentensi (keahlian) apa yang paling dibutuhkan dunia kerja dan kompetensi apa yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja. Selain itu, Perguruan Tinggi juga akan dapat memprediksi dan mengantisipasi keahlian (kompetensi) apa yang diperlukan dunia kerja dan teknologi sepuluh tahun ke depan. Dan yang lebih penting Perguruan Tinggi harus menjalin relasi dan menciptakan link dengan banyak perusahaan agar bersedia menjadi arena belajar kerja (magang) bagi mahasiswa yang akan lulus. Dengan magang langsung (on the spot) ke dunia kerja seperti itu, lulusan tidak hanya siap secara teori tetapi juga siap secara praktik.
3. Adapun pendekatan yang digunakan untuk mewujudkan Link and Match adalah pendekatan social dan pendekatan ketenagakerjaan. Pendekatan sosial merupakan pendekatan yang didasarkan atas keperluan masyarakat yang mana pendekatan ini menitik beratkan pada tujuan pendidikan dan pemerataan kesempatan dalam mendapatkan pendidikan. pendekatan sosial merupakan pendekatan tradisional bagi pembangunan pendidikan dengan menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi tekanan tekanan untuk memasukan sekolah serta memungkinkan pemberian kesempatan kepada murit dan orang tua secara bebas.
Pendekatan ketenagakerjaan merupakan pendekatan yang mengutamakan kepada keterkaitan luusan sistem pendidikan dengan tuntutan terhadap tenaga kerja pada berbagai sektor pembangunan dengan tujuan yang akan dicapai adalah bahwa pendidikan itu diperlukan untuk membantu lulusan memperoleh kesempatan kerja yang lebih baik sehingga tingkat kehidupannya dapat diperbaiki.
4. Pendidikan formal dianggap sebagai penentu dalam menunjang pertumbuhan ekonomi, dan titik temu antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi adalah produktivitas kerja, dengan asumsi bahwa semakin tinggi mutu pendidikan, semakin tinggi produktivitas kerja, semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat. Anggapan ini mengacu pada teori Human Capital yang menerangkan bahwa pendidikan memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi karena pendidikan berperan di dalam meningkatkan produktivitas kerja.


DAFTAR PUSTAKA
Cammings, Williams. Studi Pendidikan dan Tenaga Kerja pada Beberapa Industri Besar di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian BP3K.
Enoch, Jusuf. 1992. Dasar-Dasar Perencanaan. Jakarta: Bumi Aksara.
Hasibuan, Sayuti. 1987. Changing Manpower Requirements in The Face of Non-Oil Growth, Labor Force Growth and Fast Tehnological Change. Jakarta: Bappenas. 
Indar, Djumberansyah. 1995. Perencanaan Pendidikan Strategi dan Implementasinya. Surabaya: Karya Aditama.
Limongan, Andreas. Masalah Pengangguran di Indonesia. Diakses Tanggal 07 Januari 2008.
Sa’ud, Udin Syaefudin dan Abin Syamsuddin Makmun, 2006. Perencanaan Pendidikan Suatu Pendekatan Komprehensif . Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet II.
Sindhunata (ed). 2000. Menggegas Paradigma Baru Pendidikan: Demokrasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius. 
Sindhunata (ed), 2001. Pendidikan Kegelisahan Sepanjang Zaman. Yogyakarta:Kanisius
Soeharto, Bohar. 1991. Perencanaan Sosial Kasus Pendekatan. Bandung: Armico
Suryadi, Ace dan H.A.R. Tilaar. 1993. Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar Bandung: Rosdakarya
Tilaar, H.A.R. 1999. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Rosdakarya. Cet IV
Usman, Husaini. 2006. Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
http://elementary-education-schools.blogspot.com/2011/08/all-about-elementary-education-in.html 

sumber: http://kabar-pendidikan.blogspot.com
 
Support : Kabar Pendidikan | Gudang Makalah | Grosir Laptop
Copyright © 2011. Makalah - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger